Diponegoro

Jeneral Indonesia

Raden Mas Ontowiryo atau Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro (Mustahar; Antawirya; 11 November 1785 – 8 Januari 1855),[1] juga dikenali sebagai Dipanegara, ialah seorang putera bangsa Jawa Putra Dari Sultan Hamengkubuwono III yang menentang pemerintahan kolonial Belanda. Beliau memainkan peranan penting dalam Perang Jawa (1825–1830). Beliau dibuang negeri ke Makasar oleh Belanda dalam tahun 1830.

Pangeran Diponegoro Jogjakarta
ꦢꦶꦦꦟꦼꦓꦫ
Sultan Abdul Hamid Kabiril Mukminin Sayidin Panata Agama Khalifatullah Tanah Jawa
Potret Diponegoro, 1835
Keputeraan(1785-11-11)11 November 1785
Kesultanan Jogjakarta
Kemangkatan8 Januari 1855(1855-01-08) (umur 69)
Makasar, Hindia Timur Belanda
PemakamanMakassar, Hindia Timur Belanda
PasanganKedhaton
Ratnaningsih
Ratnaningrum
Anakanda17 orang putera dan 5 orang puteri
Nama penuh
Bendara Raden Mas Mustahar
Nama diraja
Sultan Abdul Hamid Kabiril Mukminin Sayidin Panata Agama Khalifatullah Tanah Jawa
KerabatHamengkubuwana
AyahandaHamengkubuwana III
BondaMangkarawati
AgamaIslam

Keputeraan

sunting

Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwana III.[2] Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.[3] Nama Islamnya adalah Ngabdul Kamid.[4] Setelah ayahnya naik tahta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.

Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan ayahandanya untuk menjadi raja, haginda sendiri beralasan bahawa posisi ibunya yang bukan sebagai isteri permaisuri, membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki takhta tersebut.[5]

Pangeran Diponegoro dikenal berkeperibadian cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.[2] Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut puterinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.[5]

Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822) yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.[5]

[6]

Perkahwinan

sunting

Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali dalam hidupnya.[6] Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan puteri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.[7]

Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan puteri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwono III.[7] Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.[7]

Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang puteri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang isteri Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.[8]

Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, puteri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (puteri HB II). Sang isteri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, namun lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, puteri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, puteri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, puteri Kiai Guru Kasongan.[8]

Diponegoro kembali menikah untuk kesembilan kalinya dengan perempuan dari Wajo, Makassar, bernama lengkap Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar. Syarifah Fathimah adalah seorang puteri dari Datuk Husain yang makamnya berada di Makassar.[9]

Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang puteri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[10]

Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.[6]

Pertembungan dengan orang Belanda

sunting

Perang Diponegoro (1825-1830)

sunting

Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[11]

Dalam beberapa penulisan dikarang dari pihak Hindia Belanda seperti mana yang dilaporkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Professor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro kerana sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang Pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan Istana dari madat.[12]

Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahawa perlawanannya adalah suatu peperangan menghadapi pihak kaum yang dianggap "kafir". Semangat "perang sabil" yang dikobarkan inilah membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.[11]

Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[13]

Pasukan Pangeran Diponegoro dibahagi menjadi beberapa batalion yang diberi pelbagai nama seperti Turkiya, Arkiya, dan sebagainya setiap setumbukan dibekalkan senjata api dan peluru-peluru dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong.[14] Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa. Pusat kerajaan baginda ditempatkan di Plered dengan pertahanan yang kuat; sistem pertahanan ini dipercayakan penanganannya kepada Kerta Pengalasan.[14]

Sejarawan Belanda, George Nypels dalam bukunya yang berjudul De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830 menuliskan bahawa Diponegoro ditemani dua pengiringnya, Roto dan Banthengwareng, dalam keadaan yang agak kekurangan dengan luka di kakinya dan sakit malaria sehingga harus berpindah-pindah terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan cukup makanan.[15] Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga bulan antara pertengahan November 1829 hingga pertengahan Februari 1830.[16]

Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu,[11] suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, namun dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik kaedah perang terbuka mahupun kaedah perang gerilya yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan perisikan dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawan.

Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahawa siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.[14]

Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.[14]

Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, kerana kesulitan biaya, dan tertangkapnya isteri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[14]

Rundingan dan pengkhianatan

sunting

Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.[4]

Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahawa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.[4]

Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan isteri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan puterinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.[4]

Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahawa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.[4]

Penyerahan kalah

sunting

Akhirnya pada tanggal 28 Mac 1830 bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs bertemu dengan Diponegoro. Pangeran didampingi ketiga puteranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.[17]

Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk kerana keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahawa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.[17]

Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan kerana sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahawa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, namun juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun niatannya diurungkan kerana akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.[17]

Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1930 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama isteri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan isterinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.[11]

Pelanjutan perang

sunting

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned, yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sedangkan Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.

Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara, terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden.[6] Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya.

Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Akhir hayat

sunting
 
Lukisan tempat pengasingan Pangeran Diponegoro karya Adrianus Johannes, sebelum 1872.
 
Lukisan pemandangan alam di sekitar tempat pengasingan Pangeran Diponegoro karya Adrianus Johannes, sebelum 1872.

Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena sakit Malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahawa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga wafat.[18]

Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni isteri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Jun 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, namun Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahawa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Jun 1833. Selanjutnya, pada tahun 1833, Diponegoro dipindahkan ke Makassar secara diam-diam dan ditempatkan di Benteng Fort Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro menolak upaya Hindia Belanda untuk memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin menghabiskan akhir hayatnya di Makassar.[18]

Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra keduanya bernama Raden Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal kerana sakit dan dimakamkan di sebidang tanah kecil milik Hindia Belanda, di Kampung Melayu. Setelah kematian putranya tersebut, Diponegoro kemudian berpikir keselamatan keluarganya jika dia wafat. Dia pun menulis surat kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar makam putranya diberikan pagar tembok rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di samping pusara putranya, dan membuat rumah berikut masjid kecil untuk isteri dan pengikut-pengikutnya, meski dirinya tidak diperkenankan keluar dari Benteng.[18]

Kemangkatan

sunting
Fail:Makam pangeran diponegoro.jpg
Makam_pangeran_diponegoro.jpg

Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian, anak dan isterinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, sejarawan yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van Twist mengeluarkan perintah rahasia bahawa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[18]

Pada tahun 1885, sang isteri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Setelah sang isteri meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama makam putranya dipindahkan ke pemakaman umum yang berada di Jalan Andalas dan Jalan Irian.[18]

Peninggalan

sunting

Karya penulisan

sunting

Babad Dipanagara adalah sehimpunan sajak tradisi Jawa Pegon setebal 1,170 halaman menceritakan sirah nabawi serta sejarah Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti dituturkan langsung oleh baginda pangeran kepada jurutulis dari Mei 1831 hingga Februari 1832 semasa dalam buangan di Manado. Himpunan ini diakui sebagai suatu Warisan Ingatan Dunia oleh UNESCO pada Jun 2013.[19]

Terdapat juga dua manuskrip dikarangnya mengenai pengaruh aliran sufi Qadariyah dan Naqshabandiyah atas cara berfikir dan kebudayaan Jawa yang ditemui di Makassar.[20]

Barangan persendirian

sunting

Diponegoro terkenal kerana banyak keris yang disimpannya untuk tujuan persendirian termasuk Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Nogo Siluman; keris terakhir ini yang paling terkenal kerana sempat hilang namun akhirnya ditemukan di Belanda[21] dan dikembalikan kepada pihak Indonesia pada tanggal 10 Mac 2020.[22]

Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya serta tali kuda, yang masih tersimpan di Belanda.[23]

Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di Arnhem, Pauljac Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.[24]

Warisan

sunting

Hari ini Diponegoro adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dan Wilayah Tentera Jawa Pusat, Kodam IV/Diponegoro, dinamakan sempena beliau.

Angkatan Laut Indonesia menamakan dua buah kapal sempena belia, yang mutakhir KRI Diponegoro-365, dan juga kapal sulung Korvet Diponegoro (SIGMA-Class) yang dibeli daripada Belanda.

Rujukan

sunting
  1. ^ http://www.yogyes.com/en/yogyakarta-tourism-object/museum-and-monument/sasana-wiratama/
  2. ^ a b "Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro". Historia. Dicapai pada 2020-03-20.
  3. ^ Raditya, Iswara N. "Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV". tirto.id. Dicapai pada 6 Disember 2017.
  4. ^ a b c d e "Pangeran Diponegoro Syaratkan Perang Jawa Libur Selama Ramadan". Liputan6.com. 2016-06-07. Dicapai pada 2020-03-21.
  5. ^ a b c "Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa". Tagar.id. 2017-12-23. Dicapai pada 2020-03-21.
  6. ^ a b c d "Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang". Historia.id. Dicapai pada 2020-03-20.
  7. ^ a b c "Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran Diponegoro". Kumparan. Dicapai pada 21 Mac 2020.
  8. ^ a b "Biografi terkait Diponegoro". diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id. Dicapai pada 2020-03-22.
  9. ^ "Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya". SINDOnews. Dicapai pada 22 Mac 2020.
  10. ^ "Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita Cantik". Liputan6.com. 27 APril 2016. Dicapai pada 2020-03-22. Check date values in: |date= (bantuan)
  11. ^ a b c d Jodhi Yudono; Serafica Gischa (9 Disember 2019). "Biografi Pangeran Diponegoro, Pemimpin Perang Jawa Halaman all". Kompas.com. Dicapai pada 20 Mac 2020.
  12. ^ "Meluruskan Fakta dalam Sejarah Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2019-07-13. Dicapai pada 2020-03-21.
  13. ^ "Sentot Ali Basya, Panglima Perang Diponegoro yang Dijuluki Napoleon Jawa". SINDOnews. Dicapai pada 21 Mac 2020.
  14. ^ a b c d e "Biografi terkait Diponegoro". diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id. Dicapai pada 2020-03-22.
  15. ^ "Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro". Historia. Dicapai pada 28 Mac 2020.
  16. ^ "Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia". Historia. Dicapai pada 28 Mac 2020. Cite has empty unknown parameter: |1= (bantuan)
  17. ^ a b c "Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro". Historia. Dicapai pada 22 Mac 2020.
  18. ^ a b c d e Matanasi, Petrik. "Akhir Hidup Diponegoro, Napoleon van Java". Tirto.id. Dicapai pada 21 Mac 2020.
  19. ^ "Saat dunia mengakui otobiografi Diponegoro". Antara News. 2013-07-05. Dicapai pada 2020-03-27.
  20. ^ "Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui UNESCO Hilang, Ke Mana?". detiknews (dalam bahasa Indonesia). Dicapai pada 2020-03-27.
  21. ^ "Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual". Historia. Dicapai pada 2020-03-20.
  22. ^ detikcom, Tim. "Keris Pangeran Diponegoro Dikembalikan oleh Belanda: Asli atau Palsu?". detiknews. Dicapai pada 2020-03-20.
  23. ^ "Memastikan Keaslian Keris Diponegoro". Republika Online. 2020-03-13. Dicapai pada 2020-03-21.
  24. ^ "Kembalinya Keris Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2020-03-05. Dicapai pada 2020-03-21.

Bacaan lanjut

sunting
  • Carey, P.B.R. Babad Dipanagara : an account of the outbreak of the Java War (1825-30) : the Surakarta court version of the Babad Dipanagara Kuala Lumpur: Printed for the Council of the M.B.R.A.S. by Art Printing Works, 1981. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. Malaysian Branch); no.9.
  • Sagimun M. D. Pangeran Dipanegara : pahlawan nasional Jakarta: Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.
  • Yamin, M. Sedjarah peperangan Dipanegara : pahlawan kemerdekaan Indonesia Jakarta : Pembangunan, 1950.

Pautan luar

sunting

1. http://encarta.msn.com/encyclopedia_761584175/diponegoro.htmlDiarkibkan 2009-11-01 di Wayback Machine
2. http://iclweb01.fsw.leidenuniv.nl/walhain/eindexamen/Level_4/cse/Indonesie/schoolboeken/Diponegoro/diponego.htm#oorzaken Diarkibkan 2010-02-18 di Wayback Machine 3. http://www.raden-saleh.org The web site of the Prince Raden Saleh Foundation. See the page "Capture of Prince Diponegoro"