Nahdlatul Ulama

pertubuhan Islam berpangkalan di Indonesia
(Dilencongkan daripada NU)

Nahdlatul Ulama adalah sebuah pertubuhan Islam yang terbesar di Indonesia bahkan di dunia.

Nahdlatul Ulama
Kerangka
KependekanNU
Cogan kataAhli Sunnah Wal Jamaah
Jenis/bentuk sahPertubuhan bukan kerajaan
TujuanSocio-Religion
IndustriReligious congregations and associations Sunting ini di Wikidata
Keanggotaan 95.64 juta (2021)[1][2]
Bahasa rasmiBahasa Indonesia
Tapak webhttp://www.nu.or.id/
Sejarah
Dibentuk31 Januari 1926
PengasasMohammad Hasyim Ashari Sunting ini di Wikidata
Dibubarkan5 Januari 1973 Sunting ini di Wikidata
Pengurusan
Rais 'Aam (Pimpinan Tinggi)Miftachul Akhyar
PengerusiYahya Cholil Staquf
Lokasi
Ibu pejabat NU di Jakarta
Ibu pejabatJalan Kramat Raya, No. 164, Jakarta, Indonesia
Lokasi
Kawasan perkhidmatanIndonesia
sunting · sunting di Wikidata
Lihat pendokumenan templat ini
Lihat pendokumenan templat ini
Jombang Mosque, birthplace of the Nahdlatul Ulama

Sejarah NU

sunting

Keterbelakangan baik secara mental, mahupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan mahupun akibat kongkongan tradisi, telah menggugah kesedaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul pada tahun 1908 tersebut dikenali dengan Parti Kebangkitan Bangsa. Semangat kebangkitan memang terus tersebar ke mana-mana setelah rakyat peribumi sedar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawapannya, muncullah pelbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenali juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Syarikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam mahupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi kerana dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modenis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah Pimpinan Ahmad Dahlan mahupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeza itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahawa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU , yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan

sunting

NU menganut faham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola fikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Quran, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berfikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi Kemudian dalam bidang fikah mengikuti empat Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk mentafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berfikir, baik dalam bidang fikah mahupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan ghairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Basis Pendukung

sunting

Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta jiwa, dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah handai taulan, baik di kota mahupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ‘ahlusunnah wal jamaah’. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Tujuan dan Usaha Organisasi

sunting

Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha Organisasi

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Struktur Organisasi

sunting
  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majlis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Mustayar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan Organisasi

sunting

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

  • 31 Wilayah
  • 339 Cabang
  • 12 Cabang Istimewa
  • 2.630 Majlis Wakil Cabang / MWC
  • 37.125 Ranting

Pautan luar

sunting
  1. ^ Ranjan Ghosh (4 January 2013). Making Sense of the Secular: Critical Perspectives from Europe to Asia. Routledge. m/s. 202–. ISBN 978-1-136-27721-4.
  2. ^ http://www.crwflags.com/fotw/flags/id_nu.html