Kaum Dusun
Dusun atau dikenali juga sebagai bangsa Dusunik merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada sekumpulan suku kaum pribumi di Sabah dan Borneo yang bertutur dalam bahasa Dusunik dan Paitanik (Dusunik Besar). Pada dasarnya, Kadazan (Tanga'ara) dan Momogun (Rungus) merupakan dua etnik yang berada dalam rumpun bahasa Dusun secara linguistik.
Kawasan ramai penduduk | |
---|---|
Malaysia : 1,100,283 (Sabah, Labuan, Semenanjung Malaysia) Brunei : 20, 978 | |
Bahasa | |
Dusun, Bahasa Melayu, inggeris, Bahasa sabah | |
Agama | |
Kristian (Majoriti), Islam, Momolianisme | |
Kumpulan etnik berkaitan | |
Murut, Idaanik, Kayan, Melanau, Lundayeh |
Terdapat dua dialek besar dalam bahasa Dusun yang mana perbezaannya hanyalah pada konsonan atau cara penyebutan kata. Bangsa masyarakat Dusun telah diiktiraf sebagai diantara bumiputera asli Borneo - Sabah, dengan warisan yang didokumentasikan oleh Pertubuhan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (UNESCO) sejak tahun 2004.[1]
- Dialek Dusun pesisir (Tangara atau Tanga'a) kerap menggunakan konsonan "v", "z" dan "l" dalam pertuturan seharian, sementara mejoriti kaum Dusun (seperti Bundu, Liwan, Tagahas, Tindal, Tobilung, etc) pula lebih kerap menggunakan konsonan "w", "y" dan "r" dalam pertuturan seharian; contohnya ngawi (Liwan) dan ngavi (Tangara) yang bermaksud "semua", tagayo (Bundu) dan tagazo (Tangara) yang bermaksud "besar", dan juga karaja (Tindal) dan kalaja (Tangara) yang bermaksud "kerja".[2]
Pengenalan
suntingPanggilan terhadap suku-suku dalam kumpulan masyarakat Dusun dimulakan dengan perkataan Dusun, sebagai contoh Dusun Dumpas, Dusun Kimaragang, Dusun Liwan, Dusun Lotud, Dusun Tindal dan banyak lagi, merujuk kepada kumpulan subetnik Dusun yang diwakili. Setelah diselidik dan dipertimbangkan melalui kesamaan linguistik, tradisi dan budaya, Parti Bersatu Sabah (PBS) telah mencadangkan penggabungan etnik Dusun dan Kadazan dengan istilah "Kadazandusun" pada tahun 1989. Gabungan ini sebulat suara diluluskan sebagai resolusi semasa Persidangan Delegasi Persatuan Kebudayaan Kadazan ke-5. "Kadazandusun" juga telah diiktiraf sebagai etnik masyarakat orang asal Borneo Utara dengan warisan dan budaya yang didokumenkan oleh Pertubuhan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (UNESCO) sejak tahun 2004.[3] Walaubagaimanapun, penggabungan ini sama sekali bertentangan dengan ilmu bahasa, kerana "Kadazan" hanyalah salah satu daripada dialek bahasa Dusun. Berikut merupakan klasifikasi bahasa Kadazan menurut ilmu bahasa (linguistik), yang menunjukkan bahwa Kadazan adalah salah satu daripada dialek bahasa Dusun, maka penggabungan istilah Kadazan dan Dusun menjadi Kadazan-Dusun berlawanan dengan ilmu bahasa:
Language family :
Austronesia |
Austronesian
|
---|
Terdapat kelompok kaum yang juga dipanggil Dusun dan menetap di negara Brunei, di mana mereka menetap di kawasan Tutong dan juga Belait. Kaum Dusun di Brunei secara bahasa termasuk dalam rumpun Dusunik sama seperti Dusun di Sabah. Selain itu kaum Bisaya di Brunei, Limbang dan Beaufort juga bahagian dari rumpun bahasa Dusunik. Di wilayah Kalimantan Indonesia, terdapat masyarakat Dayak yang turut dipanggil sebagai kaum Dusun, dan kajian genetik yang dijalankan oleh Kee Boon Pin dan S.G. Tan telah membuktikan bahawa masyarakat Dusun di Sabah mempunyai pertalian genetik melalui persamaan urutan genom kromosom Y dengan masyarakat Dayak di Kalimantan.[4][5][6][7]
Dengan menggunakan kaedah linguistik, berikut merupakan senarai suku-suku yang termasuk dalam bangsa Dusun Besar (Greater Dusunic) yang terbahagi kepada dua dialek besar iaitu dialek bahasa Dusunik dan dialek bahasa Paitanik :
- Dusunik
- Dusun Liwan
- Dusun Bundu
- Dusun Tindal
- Dusun Tagahas
- Dusun Tobilung
- Dusun Talantang
- Dusun Lotud
- Dusun Kimaragang
- Dusun Sonsogon
- Dusun Tinagas
- Dusun Kadayan
- Dusun Brunei
- Dusun Marudi
- Dusun Tatana
- Dusun Turavid
- Dusun Luba
- Dusun Kuizau
- Dusun Kunatong
- Dusun Pingas
- Dusun Pilantong
- Dusun Tuhawon
- Dusun tilau-Ilahu
- Dusun Kogosingan
- Dusun Kujau
- Dusun Gana
- Dusun Tolinting
- Dusun Polupuh
- Dusun Lintanga
- Dusun Tagaro
- Dusun Gobukon
- Dusun Sogilitan
- Dusun Topokon
- Dusun Mangkaak
- Dusun Dumpas
- Dusun Sukang
- Dusun Sinulihan
- Dusun Malapih
- Dusun Sandayo
- Dusun Minokok
- Dusun Tompizos
- Dusun Tindakon
- Dusun Tompulung
- Dusun Bira
- Dusun Tibabar
- Dusun Pahu
- Dusun Kohub
- Dusun Kuriyou
- Dusun Tinagas
- Dusun Ti’ang atau Tihang
- Dusun Sunggangngon
- Dusun Bayok
- Dusun Klias
- Dusun Sosogo
- Dusun Putih
- Dusun Koroli
- Dusun Liwogu atau Kapazan
- Dusun Sinandapak
- Dusun Tasapang
- Dusun Garo
- Dusun Tangara
- Dusun Bangkaakon
- Dusun Rungus
- Dusun Gondohon
- Dusun Pilapazan
- Dusun Nuluw
- Dusun Gonsomon
- Dusun Bisaya
- Paitanic
- Dusun Subpan
- Dusun Sagamo
- Dusun Tambanuo
- Dusun Lobu
- Dusun Rumanau
- Dusun Makiang
- Dusun Sinabu
- Dusun Sinorupu
- Dusun Lingkabau
- Dusun Puawang
- Dusun Kalabuan
- Dusun Inakong
- Dusun Milian
- Dusun Sabangan/Abai
Ras dan segregasi ras
suntingBangsa Dusun sama seperti bangsa-bangsa Austronesia yang lain (Melayu, Jawa, Suluk, Tagalog, Batak, etc) adalah termasuk dalam kelompok ras mongoloid, kelompok segregasi malayan-mongoloid, dengan klasifikasi morfologi wajah yang dominan pada Kelas 1.[8] Manusia kelompok ras mongoloid merupakan kelompok manusia dalam klasifikasi fizikal berambut hitam dan lurus, warna pigmen kulit daripada variasi kuning langsat dan sawo matang, warna mata coklat dengan variasi tona coklat cerah ke coklat gelap, dan julat ketinggian tubuh dari 150CM ke 165CM.[9] Malayan-mongoloid pula merupakan segregasi kelompok manusia ras mongoloid yang mendiami kawasan Asia Tenggara hingga ke Asia Timur. Klasifikasi morfologi wajah pula merupakan garis panduan bidang sosiologi manusia dalam kajian klasifikasi struktur wajah manusia bagi penetapan ciri-ciri khusus wajah pada setiap ras dan juga segregasi ras manusia.[10]
Kesalinghubungan Genetik melalui Distribusi Ras dan Genetik Mongoloid
suntingSatu kertas kajian tentang asal-usul Dusun Borneo Utara melalui kaedah DNA (SNP) oleh Universiti Malaysia Sabah (2018)[11] merumuskan bahawa orang Dusun Borneo Utara (Sabah) secara umumnya memiliki persamaan ciri-ciri DNA yang lebih dekat dengan warga asli Taiwan dari orang-orang asli Amis dan Tayal, dan juga suku bukan-Austro-Melanesian di Filipina; seperti Visaya, Tagalog, Ilicano, bajou, Minanubu, daripada penduduk lain di Borneo. Kesemua etnik yang disebut ini jatuh dalam kumpulan ras dan segregasi ras yang sama, iaitu ras malayan-mongoloid.
Asal usul istilah "Dusun" dan Sejarah Dusun
suntingIstilah Dusun merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno, yang kemudian dipakai oleh kaum Melayu Brunei di dalam Syair Awang Semaun untuk menyebut bangsa peribumi di Sabah yang mana telah berperang dengan tentera Brunei ketika tentera Brunei meluaskan wilayah mereka di Sabah, di mana bangsa tersebut disebut "Dusun" kerana peradaban Agrikultur mereka. Istilah "Dusun" sudah wujud sejak tahun 966 Masihi, dipakai di dalam bahasa Jawa Kromo untuk menyebut orang yang tidak dikenali dengan hormat. Istilah "Dusun" di dalam bahasa Jawa Kromo bererti "kampung", "kawasan luar kota", "wilayah" dan "pedalaman". Di dalam bahasa Melayu Brunei pula, ia bermaksud "kebun" atau "ladang". Ketika orang Brunei sampai di Sabah, mereka melihat satu bangsa yang maju di dalam pertanian, di mana perkampungan mereka dipenuhi dengan ladang dan kebun, maka mereka menyebut bangsa tersebut "Orang Dusun" yang menurut Evans, Rutter dan Gudgeon adalah "the People of the Orchard" atau "Men of the Orchards" atau "Orchard owner". Oleh yang demikian, teori asal usul istilah "Orang Dusun" ini bermula dengan spekulasi sejarah yang mengatakan bahawa Sultan Brunei yang memerintah kawasan Borneo Utara di bawah Kekuasaan Kesultanan Brunei sejak kurun ke-16 menggunakan istilah "Orang Dusun" bagi merujuk komuniti orang asli Borneo yang bertani, berkebun dan berladang demi kelangsungan hidup, kerana mereka adalah pemilik tanah dan ladang padi yang luas di pesisir Pantai Barat Borneo, maka Gudgeon mendefinisikan kata "Dusun" sebagai "orchard owner" (pemilik kebun/ladang).[12] Istilah "Orang Dusun" ini digunapakai oleh Sultan Brunei setiap kali ingin mengutip Cukai Sungai yang juga disebut "buis" daripada kaum agraria yang menduduki tanah rendah di kawasan Pantai Barat Borneo Utara, sebagai balasannya, kaum Dusun menyebut orang Brunei dengan istilah "Tulun Tabai", bahasa Dusun yang bererti "Orang Tanjung". Jadi orang Brunei menyebut kaum pribumi asli di pesisir Pantai Barat Borneo sebagai "Orang Dusun", sementara itu kaum pribumi di Pantai Barat Borneo menyebut orang Brunei sebagai "Tulun Tabai" (Orang Abai). Istilah "Dusun" kemudian dipakai oleh pemerintah British kepada semua suku-suku agraria yang berbudaya dan berbahasa serumpun dengan suku-suku agraria di daerah pesisir bermula tahun 1881 hingga 1962, tetapi pengembara-pengembara British sebelumnya sudah menggunakan istilah tersebut seawal tahun 1845, sementara itu Darlymple menggunakan istilah "Idaan" untuk menyebut kaum Dusun pada tahun 1762. [13] [14]
Walaubagaimanapun, suku-suku Dusun pada zaman Nunuk Ragang menggunakan beberapa istilah untuk menyebut suku mereka misalnya istilah Kadayan, Kadazan, Momogun, Mononggingi, Tontolobon, Sukang dan Tolinting. Sebelum zaman Nunuk Ragang, besar kemungkinan bangsa Dusun kuno dikenali sebagai bangsa "Vijaya", sempena nama ibu kota kerajaan mereka Sri-Vijaya aka Vijayapura di Teluk Brunei yang diasaskan sejak tahun 690 masihi. Tetapi setelah keruntuhan Kerajaan Poni yang berpusat di Vijayapura dan penghijrahan beramai-ramai bangsa Dusun kuno, hanya satu suku kaum Dusunic yang meneruskan nama tersebut iaitu suku Bisaya yang hari ini ada di daerah Beaufort, Limbang dan Brunei. Ketika penghijrahan besar-besaran dari Brunei ke Sabah dan Filipina, kaum Dusun kuno mengasaskan penempatan besar di Nunuk Ragan, ketika mereka keluar berhijrah keluar dari Nunuk Ragang, mereka mula menyebut diri mereka dengan pelbagai nama seperti : Kadayan, Kadazan, Momogun, Mononggingi, Tontolobon, Sukang, Liwogu dan Tolinting. Pada zaman British, kesemua suku kaum yang menyebut diri mereka Kadayan, Kadazan, Momogun, Mononggingi, Tontolobon, Sukang, Liwogu dan Tolinting ini disebut dengan "Dusun" oleh British, sebagai nama official untuk suku-suku kaum tersebut bagi memudahkan pemerintah North Borneo Company di dalam sensus (pendataan) kependudukan. Ilmuan bahasa moden memberikan klasifikasi dan sub-grouping kepada bangsa Dusun dengan nama Greater Dusunic (Dusun Besar), yang terbahagi kepada kaum penutur Dusunic dan Paitanic. Kaum penutur Dusunic dan Paitanic terdiri daripada 81 suku kaum yang tersebar di Sabah, Brunei dan Sarawak. Secara umumnya, bangsa Dusun termasuk di dalam rumpun besar ras Dayak Borneo, iaitu ras pribumi Borneo.
Kronologi Sejarah Dusun dari Abad-2 hingga Abad-20
132 M: permulaan peradaban Dusun di Pantai Barat Borneo, di mana mula terbentukanya kaum proto-Dusunik. Mereka pada awalnya menetap di pesisir Pantai Barat Borneo dan merupakan bangsa yang mahir dalam ilmu pelayaran. Penempatan mereka disebut “Yetiao” oleh catatan China, dengan raja mereka bernama ”Tiaopien” (Bradell, 1941:32). Ptolemy menyebut kawasan ini dengan istilah “Ibadaiou” di mana terdapat gunung tinggi [Gunung Kinabalu], gunung yang sering dikunjungi oleh tuhan-tuhan mereka (Braddell, 1941:31; 2005:7).
150 M: Ptolemy menyebut wilayah bernama “Iabadiou” atau “Sabadios”, dengan ibu kota bernama “Argyre”. Beberapa pakar sejarah dan geografi mengatakan Sabadios terletak di Sabah (Braddell, 1941:33). Zaman ini kaum Dusunic mula terbentuk, di mana bangsa Sabahan telah berpecah kepada Dusunic, Murutic dan Idaanic.
250 M: menurut catatan China, Chupo, kerajaan terawal di Sabah terbentuk bersama satu kerajaan lain bernama “Pulochung” di Sarawak. Penduduk di Pulochung dikatakan kanibal dan memiliki ekor (Gin, 2015:220).
411 M: kaum Dusunic mula mendirikan kerajaan yang bernama “Yepoti”, sebuah kerajaan yang terletak di Borneo menurut beberapa pakar seperti Grimes, Tong, Bradell dan Wheatley, (Braddell, 1949:3; Tong, 1969:70; Rajaui, 1974:179) terletak di sekitar Brunei (Munoz, 2006:56).
437 M: kerajaan purba kaum Dusun di Brunei bernama Poli, yang terdiri daripada 136 kampung, di mana mereka menanam padi (Karim, 2016:48; Braddell, 1949:6). Poli terletak di kawasan sekitar Brunei (Karim, 2016:48).
518 M: raja Poli, raja kaum Dusun purba di Brunei, iaitu Raja Pinka mengirim utusan ke China. Raja ini kemudian diganti oleh Raja Hulanapo dan Raja Chantapo, di mana Raja Chantapo [menurut sebutan orang Cina] telah mengirim utusan ke China pada tahun 699 M (Braddell, 1949:4).
589 M: dokumen lain China menyebut mengenai kerajaan bernama “Toupo”, di mana penduduknya menanam padi dan wanitanya menenun kain dengan motif bunga. Meons mengatakan bahwa Chupo dan Toupo adalah sama, di mana Gerini dan Braddell di Borneo (Braddell, 1941:45-46).
616 M: kerajaan Poli mengirim utusannya ke China pada tahun 616 M dan tahun 630 M, bagi mengirim ufti berupa produk lokal (Braddell, 1949:8), di mana raja Pooli dikatakan dari kasta “Kshatriya” (Braddell, 1949:6).
690 M: Raja Alaka Bhatara menyatukan suku-suku Dusun purba, mengasaskan kerajaan bercorak empayar yang pertama, bernama Vijayapura (Nicholl, 1983:36; 1989:178; Horton, 1985:10). Wilayah mereka mencakup Borneo dan Filipina.
711 M: pada tahun ini, Poli berhenti mengirim utusan atau duta ke China (Braddell, 1949:4). Sejarawan Arab bernama al-Yaakubi menyebutkan, perang telah terjadi antara Poli dengan Dinasti Tang dengan sekutunya dari Filipina (Nicholl, 1983:38).
835 M: Kota Tawaran [Tuaran] yang baru saja dibebaskan dari jajahan Dinasti Tang telah ditakluk pula oleh pasukan Srivijaya Sumatra di zaman Maharaja Balaputra pada tahun 835 masihi (Nicholl, 1983:39).
977 M: Pada tahun 977, nama Poli berubah kepada Poni di dalam catatan China, rajanya bernama Raja Sri Nata. Baginda telah mengirim utusan ke China, bererti memindahkan ketuanannya dari Srivijaya kepada Dinasti Song, China (Karim, 2016:345).
1154 M: menurut beberapa penulis sejarah, penduduk Dusun di pesisir Sabah pada zaman ini mahir belayar dan bahkan suka berperang di lautan. Mereka suka memakai perhiasan leher dari besi, tembaga dan emas, dengan senjata berupa sumpit (Nicholl, 1983:40). Tradisi meakai perhiasan leher dari logam ini diteruskan sampai zaman British oleh kaum Dusun (St. John 1863:300; Frank Hatton Dairy 31 March 1882; Joseph Hatton, 1885:199; Roth, 1896:76).
1212 M: terjadi perang besar di antara kaum Dusun di kerajaan Poni yang berpusat di Brunei dengan kaum Melanau-Kajang di kerajaan A-Likou yang berpusat di Igan, yang sebelumnya merupakan wilayah Poni (Karim, 2016:54; Yu, 2010:116). Kerana perang besar inilah yang menyebabkan ribuan kaum Dusun purba berhijrah dari Sarawak dan Brunei ke Nunuk Ragang Sabah dan Panay, Filipina. Di zaman inilah, penempatan Nunuk Ragang diasaskan di Tampias, oleh keluarga diraja Dusun dari Brunei (Shim, 2007:19), menjadikan ia pusat kaum Dusun yang baru.
1222 M: kaum Dusun purba berjaya menumpaskan Raja Tugau di Tutong dan menawan Igan di Sarawak. Beberapa kaum Dusun yang berhijrah ke Filipina dan pesisir Sabah kembali Poni (Shim, 2007:16), tetapi kaum Dusun di Nunuk Ragang, pedalaman Sabah, tetap menetap di situ dan keturunan mereka menyebar ke seluruh Sabah.
1368 M: Kerajaan Poni berperang melawan pasukan Sulu, di mana pasukan Sulu dikalahkan dengan bantuan dari Majapahit (William, 1989:8). Zaman ini merupakan zaman kemunduran.
1407 M: Kerajaan Kinabatangan diasaskan, rajanya yang pertama memakai gelaran Maharaja. Maharaja Kinabatangan mula menakluk seluruh Kinabatangan dan kemudian menyerang Segama, di mana di situ mereka berperang melawan suku Dusun Subpan (Shim, 2007:100).
1415 M: kaum Dusun mengasaskan kerajaan Nunuk Ragang di bawah pimpinan Raja Piaw. Nunuk Ragang dikawal oleh Sistem Pasod, semacam sistem keselamatan tradisional yang terdiri dari hampir 1000 orang pasukan keselamatan mengawal keselamatan Nunuk Ragang. Menurut Puruan Tun, sistem beraja diasaskan di Nunuk Ragang pada tahun 1415 oleh Raja Lisod Kungkud, tetapi dari pengiraan tahun menurut silsilah, saya menyimpulkan raja pada tahun tersebut adalah Raja Piaw.
1417 M: Maharaja Galamading yang memerintah Kerajaan Kinabatangan dan Raja Sri Paduka Prabu dari Kerajaan Nunuk Ragang telah berangkat ke China, mengadakan kunjungan diplomatik mempereratkan hubungan antara kerajaan Dusun dan Dinasi Ming (Scott, 1989:8-9).
1497 M: Kerajaan Kinabatangan runtuh, setelah Raja Sidadak meninggal. Kerana perluasan kuasa Kesultanan Brunei dan ketiadaan pemimpin berkaliber di kalangan kaum Dusun Sukang, maka tidak ada pemimpin yang cukup berkuasa untuk menyatukan masyarakat Dusun di Kinabatangan, dan melantik dirinya menjadi raja.
1515 M: kaum Lundayeh telah berpindah ke Teluk Brunei, mengasaskan penempatan di Kg. Ayer Brunei dan mengasaskan Kesultanan Brunei pada tahun 1515 masihi dan raja mereka telah menganut Islam antara tahun 1514-1515 ((Cortesao, 1944:132; Nicholl, 1980:34; 1989:178-179; Karim, 2016:36; Said, 2012:33).
1521 M: Kesultanan Brunei yang diasaskan oleh kaum Lundayeh telah berperang dengan Kerajaan Poni yang ketika ini diperintah oleh kaum Dusun Brunei aka Bisaya ((Robertson, 1906:37, 39; Hose, Charles; McDougall, William; Haddon, Alfred C., 1912:11).
1522 M: Raja Dusun di pesisir Sabah yang bernama Datu Hilah yang memiliki kerajaan bernama Rantungan, telah kalah perang dengan Kesultanan Brunei dengan ribuan pasukan Lundayeh, sebanyak 1000 orang tentera Datu Hilah terbunuh dan 1000 rakyatnya lagi ditawan (Hoskins, 1996:106, 109). Nunuk Ragang juga diserang oleh Kesultanan Brunei dan banyak orang Dusun ditawan (Hoskins, 1996:109), tetapi kerana Nunuk Ragang memiliki populasi Dusun yang besar, maka wilayah ini kemudian membebaskan diri, mengusir pasukan Brunei kemudian menjadi negara merdeka dengan raja mereka sendiri iaitu Raja Kungkud.
1590 M: kerajaan Dusun Brunei yang beribu kota tidak jauh daripada ibu kota Kesultanan Brunei telah pun dikalahkan sepenuhnya, setelah berperang sejak tahun awal tahun 1521 lagi. Ini berdasarkan dari bukti dari Boxer Codex, pada tahun 1590, kaum Bisaya atau Dusun Brunei telah pun tunduk kepada Kesultanan Brunei (Karim, 2016:173).
1673 M: perang saudara di Brunei, Sultan Muhyiddin membunuh Sultan Abdul Hakkul Mubin pada tahun 1673 (Shim, 1989:189), menyebabkan penghijrahan pengikutnya ke Sabah (Utusan Borneo, 3 April 2008, p.13). Kedatangan kaum Melayu Brunei ke Sabah, misalnya ke Membakut menyebabkan kaum Dusun melancarkan perang melawan mereka. Kerana kaum penghijrah Melayu Brunei hampir lenyap kerana perang ini, kaum Bisaya di Klias menjadi orang tengah memperdamaikan kaum Dusun Membakut dengan Melayu Brunei, ini kerana bahasa kaum Bisaya dan Dusun Membakut hampir mirip, maka suku Bisaya dapat menjadi orang tengah. Perjanjian dimeterai, kaum Melayu Brunei menetap di hilir Sungai Membakut, kaum Dusun Membakut menetap di hulu Sungai Membakut.
1743 M: Raja Dusun yang terakhir iaitu Raja Sompon meninggal dunia, maka sistem beraja berakhir dan digantikan dengan sistem penasihat. Anak Raja Sompon iaitu Bintor menjadi penasihat yang pertama.
1855 M: penentangan Huguan Siou Sagir dari Kg. Guunsing, terhadap Kesultanan Brunei. Mungkin pada tahun yang berdekatan dengan tahun ini juga penentangan dari Panglima Akin Bilod dari Tuaran juga bangkit menentang para pemungut cukai Brunei, sama seperti Huguan Siou Sagir yang juga bangkit bagi menentang cukai kepala atau “buis” dari Sultan (Hing, 1962:13).
1870 M: penentangan Huguan Siou Lasou atau juga dikenali dengan nama “Huguan Siou Bouvang” melawan Brunei, di mana beliau direkod sebagai Ketua Kampung Guunsing pada tahun 1885 (Dalrymple, 1885:9).
1883 M: pemimpin Dusun pedalaman yang berpengaruh bernama Kandurong, yang berasal dari Tambunan, telah berpindah ke Ulu Papar telah berperang dengan British di bawah pimpinan de Fontaine (Black, 1970:236, 238-239).
1886 M: Gadong, pemimpin Dusun dari Ulu Tempasuk menyerang wilayah British di Tuaran. Pihak Company British membalas, lapan buah kampung Dusun dibakar oleh pihak Company British (Black, 1970:237)
1888 M: sekali lagi Company British berperang melawan Kandurong. Perkampungan-perkampungan Dusun yang melawan Company British mulai dari Dampong sampai ke Bankau di Pergunungan Crocker, dibakar oleh pasukan Company British. Ketua-ketua kampung Dusun yang kalah perang, terpaksa berdamai dengan pihak British, tetapi Kandurong pula terus menentang British bersama pengikutnya (Black, 1970:238).
1889 M: Dusun Gapo di Ranau menentang British di bawah pimpinan Gunsia. Gunsia kemudian ditangkap dan dipaksa untuk membawa lima puak Dusun untuk bersumpah taat setia kepada kerajaan Company British dan berhenti melakukan aktiviti memburu kepala (Black, 1970:254-256).
1890 M: kaum Dusun Nelumat Ranau bangkit menentang Company British. Mereka menyerang rumah wakil British di Lingkabau. Dunlop melakukan serangan balas. Dalam serangan ini, Kg. Sinarut dan kampung sekitarnya menyerah kalah, Kg. Bandukan dan dua perkampungan lain dibakar oleh pasukan Company British (Black, 1970:256-257).
1892 M: setelah berperang selama sembilan tahun, Kandurong berdamai dengan pihak British (Black, 1970:238). Para pengikutnya yang lain terus menentang Company British (Black, 1970:239).
1894 M: Si Gunting, pemimpin Dusun Liwan melancarkan perang ke atas British, kerana memprotes perlakuan seorang kerani British terhadap adat istiadat Dusun di samping sikap British yang tidak begitu mengendahkan komplennya (Rutter, 1922:185). Balai polis di Serinsim dibakar, kemudian beliau mendirikan kubu di Kg. Sayap Kota Belud dan satu lagi di kaki Gunung Tambuyukon di Ranau (Rutter, 1922:185-186, 214). Si Gunting berperang dengan British dari 1894-1905, selama Sembilan tahun, sebelum beliau berdamai dengan British pada tahun 1905. Beliau meninggal pada tahun 1906, di usia 47 tahun (Black, 1970:301-302).
1896 M: Pemberontakan Dusun Kujau di Keningau (Rutter, 1922:187). Penentangan ini berjaya dihentikan oleh E.H. Barraut. Sebanyak lapan pemimpin Dusun Kujau ditangkap, kaum Dusun Kujau diminta bersumpah setia dengan Company. Sebanyak 200 orang lelaki Dusun Kujau kemudian dihukum menjadi buruh membuat jalan Keningau-Kimanis (Rutter, 1922:188). Selain itu, Dusun Kujau yang terlibat dalam penentangan juga diarahkan untuk memindahkan kampung-kampung mereka dekat dengan stesyen Company British (Black, 1970:290).
1898 M: Dusun Tambunan, terutama Liwan dan sekutu-sekutunya menentang British dari memasuki Tambunan (The Age, Wed 6 Sep 1899, p.11), di bawah pimpinan Sompuun dan Dumkian. Sompuun dan Dumkian telah berperang melawan Mat Salleh yang ketika itu telah bersekutu dengan suku Dusun Tagahas. Menurut catatan British, Sompuun dan Dumkian merupakan antara dua pemimpin Dusun yang berpengaruh di Tambunan. Sompuun dicatatkan mentadbir tujuh buah kampung dan Dumkian pula mentadbir dua buah kampung.
1899 M: Gabenor L.P. Beaufort sampai ke Keningau pada awal tahun 1899, bersama D.O. Mr. Fraser dan polis pengiring, mereka telah pergi ke Tambunan dan berdamai dengan suku Dusun Tambunan (The North Borneo Herald, No. 10, Vol. XXX III,1915).
1900 M: sebanyak 1000 orang Dusun bersama 300 orang Bajau-Suluk-Iranun dari pasukan Mat Salleh kalah perang dengan Company British di Tambunan. Maka berakhirlah penentangan Dusun Tambunan terhadap British (Tregonning, 1967:206). Sebanyak 93 orang pengikut Mat Salleh terbunuh, sementara sekutu Dusun mereka pula antara 200-300 terbunuh (The North Borneo Herald, No. 10, Vol. XXX III, 1915), ada laporan lain mengatakan 1000 orang keseluruhannya terbunuh.
1902 M: Si Langkap atau Dato Muda Malankapi, salah satu pahlawan Dusun yang memberontak melawan British dihukum mati di sebuah bukti dekat Abai (Black, 1970:343)
1905 M: pejuang Dusun yang menentang Company British, iaitu Si Gunting, berdamai dengan British. Setahun kemudian dia meninggal di usia 47 tahun (Rutter, 1922:214; Black, 1970:302). Maka, berakhirlah penentangan Dusun terhadap Company British yang terjadi selama 22 tahun, dari 1883-1905.
Budaya dan masyarakat
suntingPesta menuai atau Kaamatan
suntingPesta menuai yang juga disebut sebagai "Tadau Tagayo Kaamatan" atau juga dikenali sebagai "Tadau Kokotuan" merupakan perayaan tahunan masyarakat Dusun di Sabah yang diadakan pada setiap 30 dan 31 Mei. Menurut budaya turun temurun, Tadau Kaamatan diadakan selepas musim menuai padi untuk memuja semangat padi yang juga disebut sebagai "magavau" dalam bahasa Dusun. Secara detailnya, "magavau" merupakan salah satu daripada upacara terpenting dalam perayaan Tadau Kaamatan.[15]
Kini, majoriti kaum Dusun telah menganuti agama Kristian dan juga Islam. Walaupun Kaamatan masih dirayakan mengikut amalan tradisi tahunan, namun perayaannya sudah tidak lagi dibuat bagi memenuhi tuntutan adat dan tradisi spiritual nenek moyang, tetapi lebih kepada misi untuk memperingati dan menghormati adat dan tradisi nenek moyang. Hari ini, Kaamatan lebih simbolik kepada hari reuni bersama keluarga tersayang, dan juga hari untuk berpesta bagi kaum Dusun. Secara domestiknya, Kaamatan hari ini dirayakan selari dengan tuntutan agama anutan dan juga kemahuan individu tersendiri; dengan pilihan samada mahu atau tidak menghidangkan makanan dan minuman tidak-halal seperti masakan daging babi dan arak. Pada peringkat negeri pula, pesta Kaamatan disambut dengan pelbagai warna warni tentatif pesta seperti persembahan seni tari kebudayaan, jualan tamu, warung minuman keras dan makanan tradisi, persembahan dan jualan kraftangan di rumah-rumah tradisi, pertandingan menyanyi sugandoi dan juga pertandingan ratu cantik Unduk Ngadau atau Runduk Tadau. [16] Selain daripada itu,
Kepercayaan Agama Tradisi Dusun : Idea Kaum Dusun Mengenai Kematian dan Alam Roh
Menurut kepercayaan kaum Dusun, manusia memiliki tujuh roh. Roh manusia yang pertama dinamakan “lumaag” untuk lelaki dan “diwato” untuk wanita. Roh pertama ini berada di Libabou, di tempat di mana Kinorohingan berada. Kemudian terdapat roh kedua yang dipanggil “gayo sadaan”, di mana roh ini akan pergi ke Libabou untuk bersatu dengan “lumaag” untuk lelaki atau “diwato” untuk perempuan. Roh “gayo sadaan” ini akan disatukan oleh Kinorohingan sendiri, di mana roh ini kemudian ditukarkan menjadi angina dan disimpan di dalam sebuah lubang di Libabou. Ketika angin ini bertiup di taman bunga Kinorohingan, maka kedua-duanya berkomunikasi. Kemudian ada roh kedua yang dinamakan “koduduo”, yang berasal dari akar kata “duo” ertinya “dua”, merujuk kepada roh kedua. Kononya, roh inilah roh yang paling aktif ketika manusia masih hidup. Roh “koduduo” juga yang akan mengembara ketika manusia berada di alam mimpi, ketika ia sedang tidur. Kononnya roh ini kadangkala akan ditangkap oleh semangat bernama "ampal" dan “namatai” untuk dijadikan pekerja di ladang padi mereka di alam spiritual.
Ketika Koduduo meninggalkan tubuh saat seseorang sedang tidur atau ketika seseorang meninggal, ia akan keluar melalui ibu jari kaki atau melalui "tampusir" rambutnya. Ada yang mempercayai, ketika koduduo keluar dari kepala manusia, ia akan bertukar menjadi seperti rama-rama. Setelah koduduo keluar dari tubuh saat seseorang meninggal, ia akan bertukar menjadi roh yang ketiga yang dipanggil “tombiruo”. Ketika roh menjadi tombiruo, ia akan diberikan kebebasan selama 7 hari untuk pergi melawat keluarga, rumah atau apa pun tempat-tempat yang ingin ia kunjungi. Orang Dusun sering menyebut istilah “omburioh” atau “mongomburioh” atau “mongombiruoh”, iaitu roh orang mati yang menampakkan diri kepada orang yang masih hidup untuk menakut-nakutkan mereka, walaupun tombiruo ini tidak memiliki kuasa untuk menyakiti manusia.
Setelah melewati tujuh hari, tombiruo akan melakukan perjalannya ke Nabalu (Gunung Kinabalu). Perjalanan ke Nabalu ini dalam istilah Dusun dinamakan “mongolu”, iaitu proses perjalanan spritual roh Dusun ke Gunung Kinabalu untuk bertransformasi kepada roh baru. Segala barang yang ditanam atau diletakkan di kubur si mati akan dibawa pergi bersamanya ke Nabalu. Bagi yang cukup kaya pula, mereka akan menyembelih kerbau untuk si mati dan meletakkan kepalanya di satu tiang di kuburan. Kerbau yang dikorbankan ini kononya akan menjadi kenderaan si mati ketika melakukan perjalanan “mongolu” ke Nabalu. Menurut kepercaayan suku kaum Dusun, binatang juga memiliki roh, maka ketika binatang seperti kerbau dikobankan, koduduo akan menggunakannya sebagai kenderaan. Bagi kaum Dusun di Kota Belud, selain melintasi gerbang Odu Mangantob, tombiruo juga akan ke bukit bernama “Kokohiton” di tempat paling hulu Sungai Linisihan, sebuah anak sungai yang bersambung ke Sungai Kadamaian di tempat antara Tambatuon dan Kaung Sarayo .
Di sebuah batu di “Kokohiton”, para tombiruo akan menggarit atau menggores pada batu tersebut. Kononya, hanya tombiruo yang memiliki kemampuan untuk melakukan calar pada batu, manusia biasa tidak mampu, kecuali yang memiliki kekuatan supernatural. Ada juga tombiruo yang kemungkinan dari daerah lain, menggunakan laluan Sungai Koraput sebagai laluan menujuk Nabalu. Kononya, ketika tombiruo melintasi Sungai Koraput, orang boleh mendengar bunyi dari laluan tersebut. Jikalau yang melintasi adalah warga tua, maka kedengaran bunyi tongkat mereka; jikalau ia adalah lelaki bujang, maka akan kedengaran suara bunyi alat muzik sundatang; jikalau anak kecil yang melintasinya, bunyi ratapan atau tangisan yang akan kedengaran. Ketika mereka melintasi suatu tempat bernama “Pomintalan”, di sini para tombiruo akan meninggalakan barang-barang yang ingin mereka tinggalkan seperti rokok, tongkat, kain, alat menenun dan sebagainya. Menurut Bobolian Langgitoi dari Kota Belud, para tombiruo pertama-tama pergi ke Kokohiton, sebelum naik ke Koraput melintasi Sungai Kadamaian, kemudian mereka melintasi Pomintalan dengan meninggalkan barangan yang ingin mereka tinggalkan di sana, kemudian mereka akan membuat tangga untuk mendaki Nulu Nabalu.
Ketika tombiruo berjaya sampai ke tempat tujuan, dalam kes kaum Dusun di Kota Belud, di Air Terjun Tawai, mereka akan mandi di air terjun tersebut untuk membersihkan "kotoran" pada roh tombiruo mereka. Ketika mereka selesai mandi, sifat atau natur roh tombiruo mereka akan berubah lalu menjadi roh yang keempat yang dipanggil “namatai”. Di kawasan tempat di mana roh tersebut membersihkan roh tombiruo-nya, ia akan memungut beberapa jenis herba dari tempat tersebut untuk dibawa kepada Odu Mangantob, sebagai bukti bahwa dia telah sampai ke tempat tujuan dan melakukan pembersihan roh tombiruo-nya.
Beberapa pendapat mengenai nasib roh-roh manusia yang lain ketika mereka meninggal, menurut versi beberapa perguruan "mongigira" Dusun (sekolah pendidikan Bobolian pada zaman dahulu). Ada Bobolian yang mengatakan bahwa lumaag atau diwato dan koduduo akan bertukar menjadi “borigan” atau kumbang tanah; ada juga Bobolian yang mengatakan mereka akan menjadi burung laying-layang; Bobolian yang lain mengatakan mereka akan menjadi “kolibambang” dan “kolibobog”. Bobolian lain memepercayai, roh-roh tersebut akan bertukar menjadi binatang liar di dalam hutan seperti rusa , babi hutan, payau dan sebagainya. Yang menariknya, di kalangan kaum Bobolian sendiri, kadangkala memiliki ajaran yang berbeza, ada kelompok aliran pemikir spiritual Dusun yang mengajarkan bahwa daripada tujuh roh manusia tersebut, gayo sadaan yang akan ke Nabalu dan koduduo yang akan pergi ke syurga, di mana ia akan bersatu dengan roh lumaag/diwato.
Ada aliran perguruan Bobolian yang lain mengajarkan, roh gayo sadaan lah yang akan ke syurga dan bersatu dengan lumaag/diwato; empat roh lain dikategorikan dengan istilah “koduduo”, di mana salah satunya akan betukar menjadi roh yang bernama “tombiruo”. Roh tombiruo ini akan ke Nabalu dan kemudian kembali sebagai “namatai” di mana roh namatai ini akan tinggal di perkampungan para roh namatai. Dua roh kaduduo lagi akan diambil oleh Puruan Tanak (Puruan Langit), menuju Kolungkud dan menjadi rakyat Kolungkud. Satu koduduo pula akan menjadi roh namatai yang tidak memiliki tempat tinggal, maka ia selalunya akan menetap di kawasan rumah yang sudah tidak berpenghuni. Seperti roh-roh namatai lain, ia kononya semangat jahat dan boleh menyebabkan orang yang masih hidup jatuh sakit. Seperti yang sudah dikatakan dalam aliran ini, roh gayo sadaan la yang akan pergi kepada Kinorohingan, kepada si “modsusupu”.
Kinorohingan sebagai “modsusupu” akan mengambil roh gayo sadaan dan lumaag/diwato, menempa (monupu) ulang roh tersebut kembali sehingga mereka menjadi Kinorohingan. Kononya kinorohingan yang ditempa ini bahkan lebih cantik, handsome dan indah berbanding kinorohingan yang asli. Proses “penempaan ulang” roh-roh ini tidak akan dilaksanakan, sampailah tubuh si mati di dalam kubur berubah menjadi tanah, barulah proses “monupu” roh menjadi kinorohingan akan dijalankan. Versi Bobolian Langgitoi dari Kaung Sarayo, Kadamaian, Kota Belud pula, tombiruo akan pergi ke Kokohiton pada saat ia dikuburkan, dan tidak dibenarkan ke mana-mana selama 7 hari. Selepas 7 hari di Kokohitan ia akan menggores tanda pada sebuah batu dengan kukunya, sebelum naik ke Sungai Koraput untuk pergi ke Nabalu. Di sinilah dia akan membuat tangga untuk mendaki Kinabalu selama tujuh hari. Ketika ia berada di puncak Nabalu, dia akan mengambil beberapa jenis rumput gunung dan turun semula ke; rumput tersebut sebagai bukti roh tersebut adalah roh orang mati, sehingga ia kemudian menjadi roh “namatai”.
Ketika ia turun semula ke perkampungan di bawah Nabalu, ia akan disapa oleh para “namatai” lain dari kalangan keluarganya yang meninggal sebelum ini, sebelum pergi ke sungai (sungai alam ghaib) untuk mandi. Setelah mandi, namatai baru ini akan dibawa oleh keluarga namatinya untuk melawat kebun buah-buahan mereka dan seterusnya ke rumah mereka, di mana di sana ia akan diberikan makanan dan minum dan kemudian tinggal bersama mereka. Kononya, roh namatai di alam roh pun akan mati sebanyak tujuh kali sebelum roh tersebut bertukar menjadi lalat. Seperti yang lain, Langgitoi juga mempercayai bahwa ketika orang meninggal, keenam rohnya akan menjadi tombiruo dan namatai, hanya satu yang akan berada di tempat Kinorohingan. Apa pun versi ajarannya, yang pastinya, setiap daerah bahkan kampung , bole jadi akan ada perbezaan versi ajaran mengenai roh, walaupun prinsip dan idea ajarannya sama.
Bagi kes orang yang melihat roh seseorang yang masih hidup pula, ia kononya dipercayai koduduo orang yang bersangkutan. Dalam kes ini, orang yang melihat tidak bole memberitahui kepada si pemilik koduduo, kerana ia bole menyebabkan ia sakit atai meninggal. Dalam kes ini, Bobolian harus melakukan ritual “magambawon” untuk memberi makan kepada koduduo orang tersebut,supaya orang tersebut tidak meninggal. Koduduo dikatakan juga pengembara di alam mimpi, di mana ia akan keluar melalui pusaran rambut di atas kepala manusia. Sesetangah koduduo yang tidak bernasib baik kerana bertemu dengan Ampal dan Rogon Gayo entah akan ditangkap untuk dijadikan pekerja hamba abdi, atau bahkan dimakan, terutama dalam kes ketika koduduo bertemu dengan Rogon Gayo.
Pakaian Tradisional
suntingLazimnya, pakaian tradisi kaum Dusun disebut baju koubasanan, diperbuat daripada kain baldu berwarna hitam yang ditatah-rias menggunakan pelbagai hiasan seperti manik-manik, bunga-bunga, butang berwarna, renda keemasan, labuci dan juga tenunan. Bahagian utama dalam baju tradisi dusun ialah baju, seluar dan siga bagi lelaki; dan bagi wanita pula blaus, sarung/gonop dan penutup kepala. Hiasan dan gaya pemakaian pakaian tradisi berbeza mengikut daerah dan boleh dirujuk di sini.[17] Kaum Dusun memiliki banyak pakaian tradisi seperti Sinombiyaka, Sinipak, Lapoi, Rinagang, Sinurangga, Sia Ambong dan sebagainya.
Sebagai contohnya, Sinombiyaka, ia merupakan salah satu pakaian Dusun Liwan yang cukup indah. Sinombiyaka dalam pengertian sepenuhnya terdiri dari beberapa bahagian, tapi Sinombiyaka itu sendiri salah satu dari bahagian dari pakaian tersebut. Sinombiyaka dalam bentuk penuhnya terdiri dari : Sinombiyaka, Pinolongon, Gonob/Tapi, Tingot, Sunduk/Kulu, giring-giring, Limpogot/Botungkat, dan Tangkong/Sinsing. Kesemua inilah yang akhirnya dipanggil dengan kata nama “Sinombiyaka.” Pada zaman dahulu, pakaian ini bole dikatakan pakaian formal untuk pesta.
Sinombiyaka ertinya adalah “baju kecil” yang menutupi tubuh wanita. Pada bahagian pinggang terdapat Tingot. Tingot adalah sejenis kain putih yang terdapat di pinggang sumandak-sumandak yang fungsinya adalah sebagai tali pinggang untuk Gonob/Tapia tau untuk menutupi bahagian perut dari kemasukan angina. Gonob/Tapi pula adalah skirt panjang untuk menutupi bahagian kaki. Gonob dan Sinombiaka dibuat dari kain kapas yang ditenun dan diwarnakan hitam. Pada bahagian pinggang juga dihiasi dengan hiasan dari tali pinggang wang syiling Dollar yang dipangil, Limpogot/Botungkat. Selain itu juga, ditambahi oleh hiasan dari tali pinggang tembaga yang dipanggil “Tangkong atau Sinsing.” Tangkong Penampang dan Tambunan merupakan dua jenis berbeza, kerana motif ukirannya berbeza. Pada bahagian kepala pula, sumandak-sumandak kita menutupinya dengan penutup kepala yang dipanggil “Sunduk” atau “kulu”. Pada hujung Sunduk ini selalunya ada lonceng kecil yang dipanggil “giring-giring.” Giring-giring seringkali dikaitkan dengan ritual keagamaan Momolian, kerana Bobolian juga memakai Sunduk dengan giring-giring di hujungnya.
Sebagai tambahan, pada Sinombiyaka juga terdapat jahitan dari benang emas yang dipanggil “Linongkitan.” Selain itu, jahitan untuk Sinombiaka ini juga paling tidak terdapat lima jenis jahitan yang berbeza, iaitu: Sinulapid; Tinimbung; Nonggom Kara; Kinilong dan Nontob Lapik. Harus diketahui, selain baju kecil (Sinombiyaka) yang lazim dipakai, ada juga baju panjang untuk menutup bahagian tangan yang dipanggil “Pinolongon” atau ada juga yang memanggilnya sebagai “Linangkitan.” Dalam Sinombiyaka terdapat juga terdapat motif bintang dari benang emas, maka muncul istilah “Sinombiaka Rombituon” yang merujuk pada Sinombiaka yang terdapat motif bintang. Selain daripada itu, kaum Dusun lain yang memiliki pakaian yang unik adalah kaum Dusun Tindal di daerah Kota Belud, di mana mereka memiliki bermacam jenis pakaian tradisi seperti Sinipak, Sinuranga, Rinagang, Kubaya Tungkat, dan Kayab. Baju tradisi Kubaya Tungkat misalnya, merupakan salah satu dari pakaian tradisi perempuan kaum Dusun Tindal, selain daripada Sinipak, Rinagang dan Kayab. Kubaya Tungkat merupakan pakaian harian bagi kaum Dusun Tindal di dataran rendah (Lowland Dusun) pada zaman dahulu yang berbeza dari baju Sinipak yang umumnya dipakai untuk majlis-majlis kebesaran dan adat istiadat seperti perkahwinan dan Kaamatan. Selain daripada itu, baju Sinipak juga dipakai oleh orang-orang yang berstatus tinggi dan berada di zaman dahulu kerana bahan-bahan serta perhiasannya lebih mahal. Baju Kubaya Tungkat pula adalah pakaian harian kaum Dusun Tindal dan juga dipakai oleh kaum rakyat biasa kaum Dusun Tindal, di mana menurut orang-orang tua kaum Dusun Tindal di Tempasuk, baju ini dinamakan “Kubaya Tungkat” kerana terdapat bentuk yang dijahit di belakang yang dipanggil “Tungkat”. Berikut merupakan bahagian-bahagian dari baju Kubaya Tungkat berserta penjelasannya :
1. Gonob (Kain Sarung/Skirt) : Baju Kubaya Tungkat dipakai bersama dengan “gonob” atau dipanggil “kain sarung” dan “Skirt” dalam bahasa Melayu dan Inggeris. Di dalam dialek Dusun Tindal di Kg. Tempasuk, mereka menyebutnya “Kigonob” yang mana penambahan prefix “ki” pada istilah “gonob”. Terdapat beberapa jenis “gonob” yang dipasangkan bersama Kubaya Tungkat, antaranya adalah : kain “Asap”, kain “Tuwit”, dan “Binidang”, di mana ia dipakai dengan ukuran melepasi bahagian bawah lutut hingga ke bahagian betis. Penjelasan untuk kain “Asap”, kain “Tuwit”, dan “Binidang” terdapat pada no. 2, 3 dan 4.
2. Kain Asap : Kain “Asap” merupakan “gonob” yang diperbuat dari kain yang berwarna biru gelap. Kain ini dibeli kaum wanita Dusun Tindal Tanah Rendah (Lowland Dusun) dari para pedagang Cina yang berdagang di kawasan Kota Belud pada zaman dahulu. I.H.N. Evans di dalam bukunya yang bertajuk “Among The Primitive People of Borneo” ada menyebutkan mengenai aktiviti kaum Dusun membeli kain dari para pedagang Cina ketika mereka membuat baju Kubaya Tungkat, kerana pada zaman itu terdapat kedai-kedai dagang Cina yang beroperasi di Kota Belud pada zaman British.
3. Kain Tuwit : Kain “Tuwit” merupakan “gonob” yang diperbuat dari kain yang berwarna hitam. Sama seperti kain “Asap”, kain “Tuwit” juga dibeli kaum wanita Dusun Tindal tanah rendah (Lowland Dusun) dari para pedagang Cina. Kedatangan kaum Cina di Sabah telah mempermudahkan kaum Dusun untuk mencari bahan untuk membuat pakaian tradisi. Sebelumnya, kain harus ditenun sendiri secara tradisi dengan menggunakan bahan dari kapas, serat pisang, serat nenas dan serat lamba. Aktiviti menenun kain dipanggil “mangawol” di dalam bahasa Dusun.
4. Binidang : Berbeza dengan kain “Asap” dan kain “Tuwit” yang diperbuat daripada kain textile import yang dibawa oleh para pedagang Cina, kain “Binidang” pula merupakan produk asli buatan kaum Dusun Tindal. Kain Binidang merupakan "gonob" yg ditenun dengan menggunakan serat dari pisang lanut (nama saintifik : Musa Textilist) atau dari “lamba” atau dari kapas atau dari serat kulit kayu dari pohon tertentu. Setelah siap ditenun, Binidang diwarnakan dengan warna nila atau biru gelap, di mana warna tersebut dibuat secara tradisional.
5. Sunduk (kain Siam) : Sunduk merupakan penutup kepala tradisi yang lazim di dalam pakaian kaum Dusun. Sunduk selalunya ditenun secara tradisi dengan menggunakan benang yang diperbuat dari lamba, pisang, nenas atau serat kulit pokok, tapi bagi Sunduk kepala kaum Dusun Tindal Tempasuk untuk Kubaya Tungkat pula, mereka menggunakan kain Siam. Kain Siam juga sama seperti kain Asap dan kain Tuwit, dibeli dari para pedagang Cina. Sunduk selalunya dipakai oleh kaum wanita untuk menutup bahagian kepala mereka dari terik panas matahari, kadang-kadang mereka hanya meletakannya di bahagian lengan atau dipegang begitu saja.
Selain daripada itu, pakaian ini juga dihiasi dengan beberapa perhiasan seperti Saring Bukala (gelang tangan), Simbong (anting-anting), Tombuku (semacam butang pada baju), rantai tembaga. Untuk bahagian rambut pula dihiasi dengan Surud Bulawan dan Titimbok (untuk bahagian rambut). Untuk perhiasan pinggang pula perhiasannya adalah seperti Kinokogis, Tiningkolob, Kinilong-Kilong dan Botungkat/Simpogot/Limpogot. Pakaian lelaki Dusun Tindal adalah Sinurangga dan Sinipak. Pakaian Sinuranga misalnya, adalah baju berbentuk jaket, dipasangkan dengan sigar dan Soluar. Berikut adalah tiga komponen pakaian tradisi Sinuranga Dusun Tindal :
1. Sigar : tengkolok yang diperbuat daripada kain berwarna hitam dan disulam dengan manik yang bermotifkan geometri. Sigar ini dihiasi dengan sulaman "Sinulatan" dan motif "Nompukili".
2. Sinuranga : kain berwarna hitam yang direka seperti jaket tanpa lengan. Bahagian dada dan tepi kain disulam dengan manik dan benang berwarna yang menampilkan motif geometri. Sinuranga dihiasi dengan sulaman "Sinulatan" dan motif "Nompukili".
3. Soluar : kain berwarna hitam yang direka menyerupai seluar panjang. Bahagian tepi dan hujung seluar disulam dengan manik dan benang berwarna yang bermotifkan geometri. Tali dipasang pada bahagian pinggang supaya saiznya mudah diubah suai. Soluar selalunya dihiasi dengan sulaman "Sinulatan" dan motif "Tompukili" dan "Nurod".
Tarian Sumayau
suntingTarian ini merupakan tarian asli suku kaum Dusun dari daerah Tuaran dan juga dikenali sebagai Madsayau. Tarian Sumayau merupakan tarian khas bagi menyambut hari Mengaji atau dalam erti kata lain disebut Mengahau. Oleh yang demikian ianya tidak ditarikan dalam majlis-majlis bersukaria seperti menyambut hari keramaian dan sebagainya.[18]
Persembahan tarian diketuai oleh seorang Bobolian iaitu wanita yang telah lanjut usianya dan banyak serta dalam pengetahuannya mengenai upacara-upacara tertentu. Ia harus juga dari keturunan Bobolian. Mengahau adalah suatu majlis yang diadakan besar-besaran dan mengambil masa hingga lima hari lima malam. Tujuannya adalah untuk mengaji gusi-gusi (sejenis tampian besar) yakni untuk menghormati atau memuja gusi-gusi. Majlis tersebut juga adalah untuk memperingati keluarga yang telah meninggal dunia iaitu sama seperti kenduri arwah yang lazimnya dilakukan oleh masyarakat Melayu Islam. Sebaik sahaja muzik dimainkan penari-penari mula menari dan terus menuju ke ruang atau gelanggang tari. Gerakkan tangan penari-penari adalah mengikut irama lagu. Gerak kaki agak perlahan jika dibandingkan dengan gerak tangan. Penari bergerak berinsut-insut dan perlahan. Gerak tarian akan bertambah rancak sedikit apabila mendapat tepukan atau rangsangan daripada para penonton.[18]
Selain daripada itu, tarian Sumayau juga dikenali sebagai tarian "Madsayau". Sebagai informasi tambahannya, tarian Sumayau merupakan tarian khas bagi menyambut hari Mengaji atau dalam bahasa Dusun disebut "Mengahau". Oleh yang demikian ianya tidak ditarikan dalam majlis-majlis sukaria seperti menyambut hari keramaian dan sebagainya. Persembahan tarian diketuai oleh seorang "Monolian" iaitu wanita yang telah lanjut usianya dan dalam pengetahuannya mengenai upacara-upacara tertentu. Ia harus juga dari keturunan Monolian. Di samping itu upacara sedemikian juga adalah untuk memperingati keluarga yang telah meninggal dunia iaitu sama seperti kenduri arwah yang lazim dilakukan oleh masyarakat Melayu Islam. Sebaik sahaja muzik dimainkan penari-penari mulalah menari dan terus menuju ke ruang atau gelanggang tari. Gerakkan tangan penari-penari adalah mengikut irama lagu. Gerak kaki adalah perlahan jika dibandingkan dengan gerak tangan. Ia cuma bergerak berinsut-insut yang amat perlahan. Gerak tarian akan bertambah rancak sedikit apabila mendapat tepukanatau rangsangan daripada para penonton.
Muzik tradisi
suntingKebanyakan alat-alat muzik di Sabah diperbuat daripada bahan-bahan asli. Seperti contoh, suling (seruling), sompoton dan togunggak diperbuat daripada buluh bambu.
Alat-alat muzik di Sabah dikelaskan kepada Kordofon(tongkungon, gambus,sundatang atau gagayan), Erofon(suling, turali atau tuahi, bungkau dan sompoton), dan Idofon(togunggak, gong,kulintangan) dan membranofon (kompang,gendang atau tontog).
Alatan muzik yang lazim dimainkan di dalam upacara dan majlis Kadazan ialah gong, dan kulintangan. Paluan gong dengan iringan kulintangan biasanya berbeza mengikut daerah, dan paluan gong yang sering dimainkan di majlis kebudayaan rasmi ialah paluan gong daripada daerah Penampang.[19]
Kraftangan
suntingKaum Dusun menggunakan bahan asli dalam menghasilkan kraftangan, termasuklah bambu, rotan, lias, labu air dan kayu. Antara hasil kraftangan yang sinonim dengan etnik Dusun ialah wakid, barait, sompoton, pinakol, topi siung, parang dan gayang.[20]
Sebelum hasil kraftangan ini dipromosi dan dikomersialkan sebagai ikon fesyen dan juga khazanah kebudayaan negeri Sabah bagi kaum Dusun, sebahagian daripada hasil tangan ini dahulunya digunakan warga kadazandusun secara praktikal dalam kehidupan seharian. Wakid dan barait digunakan untuk mengangkat barang, khususnya hasil kutipan dari kebun. Pinakol pula digunakan dalam upacara-upacara penting, seperti upacara perkahwinan dan juga kematian bergantung kepada warna manik pada pinakol yang digunakan. Peralatan muzik Dusun adalah seperti sompoton, sundatang/gagayan, bungkau, tagung, kulintangan, turiding, gandang, etc, yang digunakan masyarakat Dusun sebagai alat muzik ketika pesta-pesta budaya, tarian tradisi dan upacara perkahwinan. Gagamas, lapoi dan wasoi pula digunakan dalam aktiviti berkebun, menebas semak atau membuka kawasan hutan. Di dalam perang (misangod) dan kegiatan memburu kepala (mangayou) pula, kaum Dusun menggunakan pelbagai jenis kelengkapan perang seperti gayang (pedang), kolid (perisai), tandus (lembing) dan sopuk (sumpit). [21]
Pemburu kepala
suntingAmalan memburu kepala merupakan salah satu tradisi kuno yang pernah diamalkan oleh masyarakat Dusun.[21] Pemenggal kepala ini digelar sebagai "pangayou" dan "singkarad" .[22] Kepala musuh yang dipenggal akan dibawa pulang bukan sahaja sebagai trofi kemenangan, tetapi juga sebagai objek pemujaan roh dan amalan perubatan. Pemenggalan kepala tidak dilakukan untuk tujuan perang semata-mata, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan persepsi masyarakat pada zaman itu, dan juga memenuhi syarat ritual-ritual kuno.[23] Masyarakat kuno Dusun meletakkan keperkasaan seorang lelaki pada kekuatan fizikal dan keberaniannya untuk berperang dan memenggal kepala musuh. Pantang utama amalan memenggal kepala ialah, musuh wajib dalam keadaan masih hidup saat kepalanya dipenggal. Ini kerana kepala yang dipenggal daripada orang yang telah meninggal tidak bermakna untuk disimpan.
Terdapat lima faktor utama yang membetuk objektif pemenggalan kepala dilakukan.
- Bagi situasi perang besar
- Kepala pihak musuh dipenggal untuk tujuan membuktikan kekuatan pahlawan dan puak
- Pengumpulan kepala pihak lawan sebanyak yang mungkin (lebih banyak kepala bermaksud telah banyak musuh yang telah berjaya dikalahkan)
- Kepala akan disimpan di dalam rumah tengkorak(bangkawan) milik puak yang menang.[24][25]
- Bagi situasi perang kecil atau perang keluarga
- Kepala pihak musuh dan keluarga dipenggal dengan tujuan menghapuskan keluarga musuh secara total
- Kepala musuh akan disimpan di rumah keluarga yang menang[25]
- Bagi tujuan memperkasakan kelelakian
- Seorang lelaki wajib memenggal kepala untuk menjadi lelaki perkasa kalau tidak mahu dianggap sebagai pengecut
- Lelaki yang tidak berani/pernah memenggal kepala musuh tidak layak memiliki pasangan hidup kerana dikhuatiri tidak akan dapat melindungi isteri dan keluarganya[25]
- Bagi tujuan menjadi ketua kampung
- Lelaki wajib memperoleh sekurang-kurangnya 10 kepala musuh bagi memperoleh kehormatan daripada puaknya
- 10 kepala ini juga penting bagi meyakinkan puaknya bahawa dia layak mengetuai perang[25]
- Bagi tujuan memperkasakan kegagahan seorang pahlawan
- Masyarakat dahulu percaya bahawa kekuatan dan semangat musuh akan diperoleh oleh pahlawan yang memenggal kepalanya[25]
Kepala-kepala yang dipenggal akan disimpan dan dijaga rapi dengan menggunakan amalan dan ritual kuno. Masyarakat dahulu percaya bahawa roh dan semangat seseorang individu terletak pada kepalanya yang disebut sebagai "tandahau". Oleh itu, kepala-kepala ini tidak hanya disimpan sebagai trofi kemenangan semata-mata, tetapi juga digunakan sebagai objek dalam ritual keagamaan dan juga perubatan.[22]
Antara kegunaan kepala-kepala ini ialah sebagai penjaga rumah. Masyarakat Dusun kuno percaya bahawa sebuah rumah harus mempunyai penjaganya. Maka, mereka akan menggunakan semangat 'tandahau' daripada kepala ini bagi tujuan melindungi rumah dan penghuninya daripada serangan musuh dan binatang buas. Kegunaan kepala-kepala ini juga penting untuk diletakkan di bawah jambatan yang baru dibina. Masyarakat kuno Dusun percaya bahawa setiap sungai ada semangat air yang juga disebut sebagai "tambaig". Kepala-kepala ini akan diletak atau digantung pada jambatan sebagai persembahan damai buat tambaig supaya jambatan yang dibina tidak dirobohkan oleh tambaig. Kepala-kepala ini juga digunakan oleh bobolian sebagai tujuan perubatan, dan pemujaan roh nenek moyang.[22][23]
Menurut cerita legend Dusun, amalan "mongoyou" atau "headhunting" ini sudah bermula sejak zaman Nunuk Ragang lagi, sehingga ia menjadi salah satu sebab mengapa kaum Dusun kuno berhijrah keluar dari Nunuk Ragang. Amalan ini diteruskan sampai pada zaman kolonial, sehingga beberapa ekspedisi dilancarkan oleh pemerintah British untuk menangkap pemimpin dan gerombolan pemburu kepala Dusun. Antara yang terkenal adalah Kandurong, pemimpin Dusun di Ulu Papar yang melakukan aktivti pemburuan kepala di wilayah British bermula di Penampang, Kinarut, Papar dan sejauh Kimanis pada tahun 1883. Juga terdapat pemimpin gerombolan pemburu kepala Dusun yang bernama Gadong, berasal dari Ulu Tuaran, yang kerap kali menyerang wilayah British di Tuaran pada tahun 1886. Kaum Dusun di Tambunan pula, Dusun Liwan dan Tagahas telah membentuk sekutu mereka masing-masing berperang sejak tahun 1860 kerana masalah saliran sawah padi (konolian) dan kawasan bersawah (dumo). Masing-masing suku mengubui kawasan mereka dengan kubu dan mengelarkan beberapa kawasan sebagai kawasan "pagawangan" (ambush) dan "tana pisangadan" (kawasan tempat untuk berperang).
Pada tahun 1883, kedua-dua suku ini berdamai sampailah pada tahun 1898, kedua suku Dusun ini kembali melakukan aktiviti "misangod" (perang) dan "mangayou" (headhunting), setelah Mat Salleh yang melarikan diri dari Ranau ke Tambunan telah membuat perjanjian dengan suku Dusun Tagahas sebagai rakan sekutu mereka. Di zaman ini, Dusun Liwan membina kubu terkuat mereka di Sunsuron yang diserang oleh suku Tagahas dan Mat Salleh dengan meriam, tetapi tidak berjaya diruntuhkan dan ditawan. Perang selama dua tahun ini tamat setelah kedatangan British di wilayah tersebut pada tahun 1900, setelah pemimpin Dusun Liwan meminta British Company untuk datang ke Tambunan untuk menghentikan keganasan Mat Salleh dan sekutunya (Dusun Tagahas) yang sering menyerang kampung-kampung yang menjadi musuh mereka.
Misangod Rondom dan Perjanjian Damai
Terdapat dua upacara perjanjian damai yang dilaksanakan kaum Dayak Dusun pada zaman dahulu kala untuk menghentikan aktiviti "misangod" (perang) dan "mangayou" (headhunting), iaitu yang dilaksanakan pada tahun 1762 di Kimanis dan yang terbesar dilaksanakan di Tambunan sekitar tahun 1870. Menurut cerita legenda Dusun, salah satu daripada penyebab berhijrahnya suku-suku Dusun kuno di Nunuk Ragang adalah kerana berbalahan sesama suku soal wilayah dan makanan yang semakin berkurangan kerana pertambahan populasi penduduk. Ini menyebabkan terjadi perang di antara beberapa suku Dusun di Nunuk Ragang yang membawa kepada penghijrahan, tetapi tidak semua suku-suku Dusun berhijrah kerana perbalahan, kebanyakannya berhijrah kerana ingin mencari penempatan baru dan kawasan pertanian baru. Ketika suku-suku ini berhijrah secara berperingkat-peringkat, maka suku yang berhijrah lebih awal akan mendapat tanah terlebih dahulu. Suku-suku yang berhijrah kemudian akan mendapati tanah-tanah yang dilalui mereka sudahpun ditempati suku-suku Dusun yang lebih awal berhijrah. Maka kerana itulah, terdapat suku Dusun yang akan melakukan perang untuk merebutkan tanah-tanah tersebut seperti yang terjadi antara kaum Mononginggi dan kaum Momogun. Ketika kaum Dusun Mononggingi iaitu Kimaragang dan Tobilung berhijrah, mereka sampai ke Kota Marudu dan mendapati tanah tersebut telah dihuni oleh kaum Dusun Momogun (Rungus), maka kaum Dusun Kimaragang dan Dusun Tobilung melancarkan perang untuk mendapatkan tanah di kawasan Kota Marudu, Pitas dan Kudat. Demikian juga dengan kaum Dusun Tagahas, iaitu antara suku Dusun yang berhijrah paling akhir, telah melancarkan serangan agresif ke atas suku-suku Dusun di sepanjang pergunungan Crocker, Lembah di Tambunan dan kawasan pesisir Pantai di antara Tempauk dan Penampang untuk mendapatkan tanah. Maka, Misangod Rondom telah bermula sekitar tahun 1600, dan mencapai kemuncaknya pada tahun 1800an.
Pada sekitar tahun 1750, terdapat seorang pemuda Dusun bernama Si Pulang di daerah Kimanis. Kaum Dusun di Kimanis pada zaman ini menyara hidup dengan berburu, menangkap ikan, bertani dan memungut hasil hutan terutamanya pohon rumbia/nibung. Mereka yang menjalankan kerja mencari pohon nibung ini dalam Bahasa Dusun Kimanis disebut “Penguras”. Kerja penguras adalah mencari pohon nibung untuk diproses untuk membuat “ambulang” atau sagu. Ambulang atau juga dikenali sebagai ambuyat dan sagu merupakan makanan ruji tidak hanya suku Dusun Kimanis pada ketika itu. Pada zaman ini, aktiviti "misangod" dan "mangayou" diamalkan oleh kaum Dusun pesisir Pantai. Si Pulang merupakan menyara hidupnya dengan berkerja sebagai "penguras", memproses batang rumbia untuk dijadikan "ambulang" (sagu). Mengenai tempat tinggal Si Pulang, menurut suku kaum Melayu Brunei, Si Pulang dikatakan tinggal di sebuah rumah panjang di sebuah kampung bernama “Kampung Darat” yang hari ini dipanggil Kampung Brunei, Kimanis. Pada zaman ini, suku kaum Dusun hidup secara territorial dipimpin oleh seorang ketua yang selalunya dipilih dari kalangan “pengayau” yang paling banyak mendapatkan kepala, kerana di zaman ini, orang sangat memerlukan pemimpin yang gagah perkasa dan memiliki kesaktian bagi melindungi suatu komuniti. Si Pulang memiliki seorang kawan baik yang bernama Polumpung (Datu Polumpung), seorang penghulu di sebuah rumah panjang kaum Dusun tidak jauh dari rumah panjang Si Pulang. Kononya Datu Polumpung dan suku Dusun di bawah pimpinanya hidup di hilir dan menjalankan kegiatan kehidupan dengan menangkap ikan dan memungut ketam di kawasan muara Sungai Kimanis. Pada suatu hari, Si Pulang telah disambar petir ketika berlindung di sebuah pohon rumbia yang rendang, sehingga dia tidak sedarkan diri. Anehnya, setelah beliau sedar dari disambar petir, tiba-tiba beliau menjadi lelaki yang gagah perkasa. Pada hari itu beliau memotong pohon rumbia dengan mudah seperti memotong batang keladi dan beliau mampu mengangkat beberapa pohon rumbia dengan sekali angkat. Penduduk kampung yang melihatnya tercengang tidak percaya dengan kekuatan Si Pulang. Ketika ketua kampung melihat kekuatan Si Pulang, beliau mencabarnya supaya menghiasi rumah panjang mereka dengan tengkorak kepala musuh. Maka Si Pulang melakukan aktiviti "mongoyou" menyerang kaumpung-kampung Dusun dan Bajau mulai dari Kampung Kelautan, Kampung Pengalat, Kampung Beringgis, Kampung Pendawan dan sampailah ke kampung-kampung di Putatan. Di zaman ini juga terdapat lanun-lanun Balanggingi yang memiliki markas di Pulau Tiga, tetapi lanun-lanun ini dihabisi semuanya oleh Si Pulangg setiap kali mereka turun melanun di Kimanis, sehingga tidak ada lagi lanun yang berani memasuki Kimanis. Kerana itulah rakyat Kimanis mengangkatnya sebagai pemimpin mereka dengan gelaran kebesaran, beliau kemudian disebut sebagai "Datu Pulang".
Kerana serangan yang dilancarkan, kaum Dusun dan Bajau masing-masing mengirim pahlawan mereka untuk membunuh Datu Pulang, tetapi kesemuanya tewas di tangannya. Rakyat Putatan yang sangat membencinya kerana beliau telah menyebabkan kematian banyak rakyat Putatan juga melakukan pembalasan dendam. Datu Panghulu dari Putatan mengirim tiga pahlawan terhebat di seluruh Putatan, supaya mencabar Datu Pulang untuk bertarung. Ketiga-tiga pahlawan dari Putatan ini juga tewas di tangan Datu Pulang. Kerana pemimpin-pemimpin Dusun dan Bajau di daerah pesisir tahu bahwa Datu Pulang tidak dapat dikalahkan, maka takutlah mereka. Pemimpin dari Putatan iaitu Datu Panghulu percaya bahwa hanya ada satu cara sahaja untuk menjamin keselamatan rakyat Putatan, iaitu dengan berdamai dengan Datu Pulang. Ketua-ketua suku Dusun dan Bajau yang lain mendengar usulan dari Datu Panghulu dari Putatan tersebut dan mereka juga berhasrat untuk mengikuti upacara perdamaian tersebut, kerana dengan cara ini sajalah maka kegiatan "mangayou" (headhunting) di Pantai Barat dapat dihentikan. Maka, Datu Panghulu pun mengirim anak buahnya ke Kimanis untuk berunding tentang perdamaian di antara kampung-kampung mulai dari Putatan sampai ke Kimanis. Datu Pulang bersedia untuk berdamai, dengan syarat Datu Panghulu Putatan hendaklah membawa sebongkah batu besar untuk ditanam di Kampung Darat Kimanis. Maka, Datu Panghulu pun mengirimkan pesan kepada ketua-ketua kampung dan ketua-ketua suku serta puak untuk berkumpul di Kampung Darat untuk melakukan perdamaian menghentikan kegiatan headhunting. Pada hari yang ditetapkan, Datu Panghulu dari Putatan telah mengerahkan rakyatnya mengangkut sebuah batu dari Putatan ke Kimanis menggunakan jalan laut, mereka membawanya dengan perahu yang memiliki layar. Batu itu kemudian dibawa menyusuri Sungai Kimanis, dari tebing Sungai Kimanis batu itu ditarik seekor kerbau yang terkenal memiliki kekuatan tenaga luar biasa. Batu itu kemudian dipacakan secara beramai-ramai. inilah yg akan menjadi tugu sumpah. Satu adat yang mengerikan dijalankan, seorang lelaki yang ditangkap kerana terkenal dengan kejahatannya telah diikat pada batu sumpah. Maka, ketika semua ketua-ketua suku dan ketua-ketua kampung serta orang-orang kenamaan berkumpul di Bukit Kupang, acara bersumpah pun dimulakan. Upacara sumpah ini dipimpin oleh Datu Pulang sendiri dengan berkata, “barangsiapa yang selepas ini masih melakukan perbuatan bunuh membunuh dan menggangu ketenteraman orang antara suku, orang itu akan ditangkap, diikat pada batu ini dan akan ditikam bergilir-gilir oleh setiap ketua puak hingga mati”. Maka masing-masing ketua suku dan ketua kampung mengucapkan sumpah, dimulakan oleh Datu Pulang. Orang yang diikat pada batu itupun ditikam secara bergilir-gilir oleh ketua-ketua suku, ketua-ketua kampung dan orang-orang kenamaan hingga mati. Darahnya mengalir ke batu sebagai memeterai kepada batu sumpah. Sejak itu, amanlah daerah Kimanis, Papar, Kinarut dan Putatan dari aktiviti "misangod" dan "mangayou". Setelah lama berlalu, meninggallah Datu Pulang kerana uzur. Anggota keluarganya menunaikan permintaannya untuk menguburkannya berdekatan dengan batu. Datanglah Datu Polumpung dan puaknya serta beberapa ketua suku yang lain datang membantu mengebumikan mayat Datu Pulang. Seperti layaknya adat Dusun, mayatnya dimasukkan ke dalam tajau dan dikuburkan di tanah berdekatan dengan batu sumpah. Masyarakat Melayu Brunei di Kampung Brunei menyedari bahwa batu sumpah perdamaian itu membesar dan meninggi setiap tahun, maka mereka pun menamakan batu itu sebagai “Batu Hidup”. Menurut penduduk Kimanis, batu itu pada mulanya hanya sepanjang 180 sentimeter dari tanah, setelah berkurun berlalu batu itu meninggi menjadi sekitar 330 sentimeter atau sekitar sebelas kaki, dua kali ganda dari ketinggian asalnya. Sekitar tahun 1945/46, bahagian hujung batu tersebut telah patah dan jatuh dengan sendirinya kemudian ghaib entah ke mana. Anehnya, batu itu muncul kembali di sebuah rumah di Kampung Kabang. Batu yang di Kampung Kabang ini juga nampaknya membesar dari masa ke semasa. Kini, batu ini dipanggil dengan tiga nama oleh kaum Melayu Brunei, iaitu “Batu Sumpah”, “Batu Hidup” dan juga “Batu Pembunuhan”, dalam Bahasa Dusun diterjemahkan “Watu Popol”, “Watu Apasi” dan “Watu Pamataian”.
Kisah perdamaian di Tambunan pula diadakan di Kampung Widu di hadapan sebuah tajau yang dikenali sebagai "Gantung Sorili". Di tahun 1700-1800, kegiatan "misangod" (war) dan "mangayou" (headhunting) mencapai kepada tahap kemuncaknya, di mana banyak suku-suku Dusun pesisir dan pedalaman saling berperang sesama mereka. Di zaman ini, kegiatan "mogimbadi", iaitu kegiatan perdagangan dijalankan di antara Tambunan dan Penampang, dan Ranau dan Tuaran-Kota Belud, maka perang antara suku menggangu kegiatan perdagangan pedalaman-pesisir ini. Pada zaman ini, kaum Dusun di pedalaman seperti Bundu, Tagahas, Liwan dan Kujau sering melakukan pemburuan kepala ke pesisir menyerang kaum Lotud, Tangara dan Bangkaakon.
Di pedalaman sendiri, suku-suku Dusun di pedalaman saling berperang sesama mereka, misalnya Tagahas berperang dengan Liwan. Antara perang terbesar di antara Dusun Liwan dan Tagahas adalah perang di antara Semiar dan Ruminding, di mana masing-masing memiliki sekitar 1000 orang pengikut. Demikian juga dengan serangan besar kaum Dusun Tagahas dari Sosondoton yang diketuai oleh Wariu dengan ribuan pasukan dan banyak kubu seperti di Kg. Toboh dan Kg. Sukung, berperang dengan kaum Dusun di Tambunan yang diketuai oleh Hintagu dari Kg. Karanaan bersama sekutu dari beberapa kampung lain seperti Sunsuron dan Kapayan. Kaum Dusun Tagahas mengalami kekalahan besar, daripada ribuan pahlawan Tagahas dari Sosondoton, hanya beberapa sahaja yang berjaya kembali ke Sosondoton kerana pasukan mereka dihancurkan oleh pasukan Dusun dari Sunsuron, Karanaan, Kapayan dan beberapa kampung lain. Kaum Dusun di Sunsuron juga pernah diserang oleh Huguan Siou Bouvang dari Penampang, menyebabkan kaum Dusun Sunsuron melakukan serangan balas ke atas kaum Dusun Bangkaakon dan Tangara di Penampang. Kisah Gawoi dan Goi di Kota Belud pulaa menceritakan kisah Dusun Tagahas bersama 1000 pahlawan mereka yang menyerang kaum Dusun di Kota Belud, merampas "Apui-Apui" mereka, satu lampu sakti yang dapat menyala di tengah gelap. Kaum Dusun Kujau pula sering melakukan serangan ke kawasan Kimanis untuk mendapatkan kepala, sementara suku Lotud pula melakukan aktiviti "mangoyou" sejauh Sarayo Ranau, Kudat dan Pitas. Datu Botulung pula adalah tokoh Dusun Bangkaakon yang memimpin serangan ke atas beberapa suku Dusun di kawasan ulu dan pesisir Penampang dan Papar. Beberapa tokoh pemburu kepala yang terkenal adalah seperti Ongkor dari Tambunan, yang menurut legenda telah memenggal 300 kepala musuh, Montuk juga dari Tambunan yang memiliki "sulap" (pondok) yang dipenuhi dengan tengkorak musuh, sementara itu Dolumpung dari Ranau dikatakan telah memenggal 212 kepala musuh, Gayatas (seorang wanita) dari Ulu Papar memenggal 78 kepala musuh.
Di daerah Tambunan sekitar tahun 1870, hiduplah seorang Bobolian tua yang bernama Sogunting. Dia telah mendengar kisah-kisah permusuhan di mana-mana. Orang di zamannya takut untuk keluar bertani seorang diri, maka mereka selalunya keluar bersawah dalam jumlah yang banyak sambil membawa senjata untuk tujuan melindungi diri dari musuh dan pemburu kepala. Selain daripada itu, kegiatan "mogimbadi" juga mengalami gangguan kerana permusuhan ini. Pedagang-pedagang yang hendak turun ke pesisir selalu menghadapi risiko dibunuh musuh. Oleh yang demikian, Bobolian Sogunting dari Kg. Widu Tambunan telah melakukan inisiatif dengan mengirim utusan kepada pemimpin-pemimpin Dusun yang berpengaruh di pesisir pantai dan pedalaman, Pangayou dan Bobolian untuk berkumpul di sebuah pohon Nunuk Ragang yang besar di Tambunan, bagi mengadakan perdamaian untuk menghentikan aktiviti "misangod" dan "mangayou". Upacara perdamaian ini disebut dengan upacara "Popotingkod do Pisangadan". Bobolian Sogunting juga dikatakan telah memanggil beberapa pemimpin-pemimpin Bajau dari pesisir pantai untuk datang ke Tambunan, mengadakan upacara perdamaian secara besar-besaran. Menurut kisah, pertemuan itu dijalankan selama 10 hari di mana masing-masing saling memberikan pandangan dan pendapat untuk mencapai perdamaian. Sebanyak 16 ekor kerbau disembelih untuk menampung keperluan makan para tetamu yang hadir, kerana upacara itu berlangsung selama kira-kira 10 hari lamanya. Maka, Setelah kata sepakat untuk berdamai tercapai, upacara perdamaian pun dijalankan. Mereka telah membina sebuah tajau besar yang mereka namakan sebagai “Gantung Sorili,” lalu diletakkan di samping pokok Nunuk Ragang. Setelah upacara tersebut, Bobolian Sogunting telah diberikan gelaran “Bontugan Popitunud” yang bererti “Pejuang/Tokoh Pendamai”, kerana telah berjaya membawa ketua-ketua dan tokoh-tokoh suku untuk berdamai di antara mereka. Antara tokoh yang mengikuti perdamaian ini adalah Datu Dalingga Damidal, salah seorang pemimpin terkenal di Penampang.
Lihat juga
suntingCatatan
sunting
Rujukan
sunting- ^ name= unescgfycgxyxyxtxtdufufnews|first1=Discovery Channel|last1=United Nations|title=Kadazandusun, Malaysia|url= http://www.unesco.org/archives/multimedia/document-1768/%7Caccessdate=1 Januari 2004|work=UNESCO|date=1 Januari 2004}}
- ^ name="tessie">White, Tessie (5 Mac 2012). "Berbezakah Etnik Kadazan dan Dusun ?". Blogspot. Dicapai pada 27 Januari 2018.
- ^ name= unesco>United Nations, Discovery Channel (1 Januari 2004). "Kadazandusun, Malaysia". UNESCO. Dicapai pada 1 Januari 2004.
- ^ Selatan, Kalimantan (1 Januari 1983). "Sistem kesatuan hidup setempat daerah Kalimantan Selatan". Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Dicapai pada 19 December 2018.
- ^ Boon Pin, Kee (1 February 2014). "Assesment and Analysis of Genomic Diversity and Biomarkers in Sabahan Indigenous Populations" (PDF). Universiti Malaya. Dicapai pada 1 February 2014.
- ^ S.G, Tan (1 March 1979). "Genetic Relationship between Kadazans and Fifteen other Southeast Asian Races" (PDF). Universiti Putra Malaysia. Diarkibkan daripada yang asal pada 2018-12-22. Dicapai pada 19 December 2018.
- ^ Sjamsuddin, Helius (1 Mac 2001). "Pegustian dan Temenggung akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906". Balai Pustaka. Dicapai pada 19 December 2018.
- ^ Atmadja, Hengki (10 November 2016). "BAB 3METODOLOGI PENELITIAN". Docplayer.
- ^ Maryati, Kun (10 November 2016). "Sosiologi untuk SMA". Amazon.com.
- ^ Singha Roy, Abishek (9 September 2012). "Jaw Morphology and Vertical Facial Types" (PDF). semanticscholar. Diarkibkan daripada yang asal (PDF) pada 2019-02-27. Dicapai pada 2020-03-21.
- ^ Genetic relatedness of indigenous ethnic groups in northern Borneo to neighboring populations from Southeast Asia, as inferred from genome-wide SNP data https://www.researchgate.net/publication/323665511
- ^ Staal, Fr. J (1 Julai 1923). "The Dusuns of North Borneo. Their Social Life". JSTOR. Dicapai pada 25 Disember 2019.
- ^ Rutter, Owen (1 Januari 1929). "The Pagans of North Borneo". Oxford University Press. Dicapai pada 18 Mac 2018.
- ^ Luping, Herman (7 Ogos 2016). "A history of the term Kadazandusun". Oxford University Press. Dicapai pada 28 November 2019.
- ^ Admin, Dbp. "PESTA MENUAI". Dewan Bahasa dan Pustaka. Dicapai pada 6 September 2018.
- ^ Unnip Abdullah, Mohn Izham (29 Mei 2019). "Kemuncak sambutan Kaamatan: Ribuan pengunjung banjiri Hongkod Koisaan". Berita Harian. Dicapai pada 27 Disember 2019.
- ^ Edu, Sabah. "Pakaian Tradisi". Sabah Edu. Dicapai pada 6 September 2018.
- ^ a b Edu, Sabah. "Tarian Tradisional". Sabah Edu. Dicapai pada 6 September 2018.
- ^ Edu, Sabah. "Muzik Tradisional". Sabah Edu. Dicapai pada 6 September 2018.
- ^ Jabatan, Penerangan (9 April 2018). "Kraftangan Tradisi Imbau Memori Zaman Kanak-kanak". Utusan Borneo. Dicapai pada 6 September 2018.
- ^ a b Unnip Abdullah, Mohn Izham (13 Oktober 2018). "Kisah pengait, pemburu kepala perlu dikaji, dibukukan". Berita Harian. Dicapai pada 27 September 2018.
- ^ a b c Bujang, Haslina (21 Mac 2019). "Pengait @ Tonggorib: Pemburu Kepala di Sabah". The Patriots Asia. Dicapai pada 24 Disember 2019.
- ^ a b Sintian, Minah (20 Januari 2014). "Amalan Memotong Kepala dalam Masyarakat Primitif Kadazandusun: Survival atau Budaya?". ResearchGate. Dicapai pada 21 Disember 2019.
- ^ Unnip Abdullah, Mohn Izham (18 Jun 2015). "Tengkorak musuh bukti kegagahan Pahlawan Monsopiad". Berita Harian. Dicapai pada 23 Disember 2019.
- ^ a b c d e Madkauw, Faridah. "ADAT MEMENGGAL KEPALA DI SABAH". Berita Harian. Dicapai pada 23 Disember 2019.