Samukasayam atau moksha (kata pinjaman Sanskrit: मोक्ष, mokṣa), juga dipanggil vimoksha, vimukti dan mukti,[1] adalah konsep dalam agama Hindu, Buddha, Jain dan Sikh yang merujuk kepada berbagai-bagai bentuk pembebasan, pencerahan dan pelepasan.[2] Dalam konteks soteriologi dan eskatologi, ia merujuk kepada kebebasan dari saṃsāra, kitaran kematian dan kelahiran kembali.[3] Dalam epistemologi dan psikologi deria pula, ia merujuk kepada kebebasan dari kejahilan: kesedaran diri dan pengetahuan diri.[4]

Dalam ajaran Hinduisme

sunting

Dalam Hinduisme, atma-jnana (kesadaran akan "sang diri") adalah kunci untuk meraih moksa. Umat Hindu boleh melakukan suatu bentuk (atau lebih) dari beberapa macam Yoga - Bhakti, Karma, Jnana, Raja - dengan menyadari bahwa Tuhan bersifat tak terbatas dan mampu hadir dalam berbagai wujud, baik bersifat personal maupun impersonal.

Diyakini bahawa terdapat empat Yoga (pengendalian) atau marga (jalan) untuk mencapai moksa. Hal ini meliputi: berbakti (Karma Yoga), memahami (Jnana Yoga), bermeditasi (Raja Yoga), dan melayani (Bhakti Yoga) Yang Maha Kuasa dengan bakti yang tulus. Tradisi Hinduisme yang berbeda-beda memiliki kecenderungan antara jalan yang satu dengan yang lainnya, beberapa yang terkenal di antaranya adalah tradisi Tantra dan Yoga yang berkembang dalam Hinduisme.

Pendekatan oleh tradisi Wedanta terbagi menjadi ketanpaduaan (adwaita), ketanpaduaan berkelayakan (misalnya wisistadwaita), dan keduaan (dwaita). Cara mencapai moksa yang dianjurkan oleh tiga tradisi tersebut berbeza-beza mengikut kitab.

  1. Adwaita Wedanta menekankan Jnana Yoga sebagai cara utama untuk mencapai moksa. Tradisi ini fokus kepada pengetahuan tentang Brahman yang disediakan oleh literatur tradisional Wedanta dan ajaran pendirinya, Adi Shankara.[5] Melalui pemilahan antara hal yang nyata dan yang tak nyata, sadhaka (amalan rohaniah atau spiritual) akan mampu melepaskan diri dari jerat ilusi dan menyadari bahwa dunia yang teramati sesungguhnya merupakan dunia ilusi, fana, dan maya, dan "kesedaran" tersebut merupakan satu-satunya hal yang nyata. Pemahaman tersebut merupakan moksa, saat atman (percikan Tuhan dalam diri) dan Brahman (intipati alam semesta) saling memahami sebagai bahan dan kehampaan akan keduaan eksistensial.
  2. Tradisi ketanpaduaan memandang Tuhan sebagai objek kasih sayang yang patut disembah, misalnya personifikasi konsep monoteistik akan Siwa atau Wisnu. Tidak seperti tradisi agama-agama Samawi, Adwaita/Hinduisme tidak melarang aspek Tuhan yang berbeda-beda, di mana aspek tersebut diumpamakan seperti berbagai sinar yang berasal dari sumber cahaya yang sama.

Seseorang harus mencapai moksa dengan bimbingan seorang guru. Seorang guru atau siddha hanya membimbing namun tidak campur tangan.

Syurga (svarga) diyakini sebagai tempat bagi karma sementara yang mesti dihindari oleh orang yang menginginkan moksa demi bersatu dengan Tuhan melalui Yoga.

Dalam ajaran Buddha

sunting

Dalam ajaran Buddha aliran Theravada, samuksayam dicapai dengan nirwana, yang mengakhiri kitaran Dukkha dan kelahiran kembali dalam enam alam Saṃsāra.[note 1] Moksha merupakan sebahagian daripada Empat Kebenaran Mulia ajaran ini yang memainkan peranan penting dalam aliran Theravada.[10][11] Nirvana digambarkan dalam teks Buddha dalam cara yang sama seperti agama-agama India yang lain sebagai suatu keadaan pembebasan lengkap, pencerahan, kebahagiaan tertinggi, keberanian, kebebasan, pengurangan duka, kekekalan, bukan bergantung kepada asal, yang tidak terduga, yang tidak dapat dijelaskan.[12][13] Ia juga telah digambarkan sebagai keadaan melepaskan ditandai dengan "kekosongan" dan pencapaian anatta.[14][15][16]

Dalam Jainisme

sunting

Dalam ajaran Jainisme, prinsip ini dan nirvana adalah benda yang satu dan sama.[17][18] Kitab-kitab ajaran ini kadangkalamya menggunakan istilah Kevalya, jiwa yang dibebaskan pula disebut Kevalin. Moksha adalah matlamat kerohanian yang mutakhir dalam ajaran ini, sepertimana agama-agama kelahiran tanah India lainnya, di man ia diatakrifkab sebagai pembebasan rohani dari semua karma.[19]

Dalam agama Sikh

sunting

Konsep ini dikenali dalam agama Sikh sebagai mukti dan ia merujuk kepada suatu pembebasan rohaniah. Ia digambarkan sebagai suatu keadaan yang memecahkan kitaran kelahiran semula.[20] Mukti diperolehi melalui "rahmat Tuhan".[21] Menurut Guru Grantha Sahib, pengabdian kepada Tuhan dilihat sebagai lebih penting berbanding keinginan untuk mendapatkab Mukti.

  1. ^ Ending rebirth:
    * Graham Harvey: "The Third Noble Truth is nirvana. The Buddha tells us that an end to suffering is possible, and it is nirvana. Nirvana is a "blowing out," just as a candle flame is wxtinguished in the wind, from our lives in samsara. It connotes an end to rebirth"[6]
    * Spiro: "The Buddhis message then, as I have said, is not simply a psychological message, i.e. that desire is the cause of suffering because unsatisfied desire produces frustration. It does contain such a message to be sure; but more importantly it is an eschatological message. Desire is the cause of suffering because desire is the cause of rebirth; and the extinction of desire leads to deliverance from suffering because it signals release from the Wheel of Rebirth."[7]
    * John J. Makransky: "The third noble truth, cessation (nirodha) or nirvana, represented the ultimate aim of Buddhist practice in the Abhidharma traditions: the state free from the conditions that created samsara. Nirvana was the ultimate and final state attained when the supramundane yogic path had been completed. It represented salvation from samsara precisely because it was understood to comprise a state of complete freedom from the chain of samsaric causes and conditions, i.e., precisely because it was unconditioned (asamskrta)."[8]
    * Walpola Rahula: "Let us consider a few definitions and descriptions of Nirvana as found in the original Pali texts [...] 'It is the complete cessation of that very thirst (tanha), giving it up, renouncing it, emancipation from it, detachment from it.' [...] 'The abandoning and destruction of craving for these Five Aggregates of Attachment: that is the cessation of dukkha. [...] 'The Cessation of Continuity and becoming (Bhavanirodha) is Nibbana.'"[9]

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ "The Soka Gakkai Dictionary of Buddhism, vimoksha". Diarkibkan daripada yang asal pada 22 Februari 2014. Dicapai pada 17 Februari 2014. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)
  2. ^ John Bowker, The Oxford Dictionary of World Religions, Oxford University Press,
  3. ^ Sharma 2000.
  4. ^ See:
  5. ^ Anantanand Rambachan, The limits of scripture: Vivekananda's reinterpretation of the Vedas. University of Hawaii Press, 1994, pages 125, 124: [1].
  6. ^ Harvey 2016.
  7. ^ Spiro 1982, m/s. 42.
  8. ^ Makransky 1997, m/s. 27-28.
  9. ^ Rahula 2007.
  10. ^ Harvey 2013.
  11. ^ Jay L. Garfield; William Edelglass (2011). The Oxford Handbook of World Philosophy. Oxford University Press. m/s. 206–208. ISBN 978-0-19-532899-8.
  12. ^ Steven Collins (1998). Nirvana and Other Buddhist Felicities. Cambridge University Press. m/s. 191–233. ISBN 978-0-521-57054-1.
  13. ^ Peter Harvey (2013). The Selfless Mind: Personality, Consciousness and Nirvana in Early Buddhism. Routledge. m/s. 198–226. ISBN 978-1-136-78336-4.
  14. ^ Mun-Keat Choong (1999). The Notion of Emptiness in Early Buddhism. Motilal Banarsidass. m/s. 21–22. ISBN 978-81-208-1649-7.
  15. ^ Gananath Obeyesekere (2012). The Awakened Ones: Phenomenology of Visionary Experience. Columbia University Press. m/s. 145–146. ISBN 978-0-231-15362-1.
  16. ^ Edward Conze (2012). Buddhism: Its Essence and Development. Courier. m/s. 125–137. ISBN 978-0-486-17023-7.
  17. ^ Jaini, Padmanabh (2000). Collected Papers on Jaina Studies. Delhi: Motilal Banarsidass Publ. ISBN 81-208-1691-9.
  18. ^ Michael Carrithers, Caroline Humphrey (1991) The Assembly of listeners: Jains in society Cambridge University Press.
  19. ^ Paul Dundas (2003). The Jains. Routledge. m/s. 104–105. ISBN 978-0415266055.
  20. ^ Geoff Teece (2004), Sikhism: Religion in focus,
  21. ^ HS Singha (2009),Sikhism: A Complete Introduction, Hemkunt Press,

Sumber Web

sunting

Sumber

sunting
  • Sharma, Arvind (2000), Classical Hindu Thought: An Introduction, Oxford University Press