Lontar
Lontar (daripada bahasa Jawa: ꦫꦺꦴꦤ꧀ ꦠꦭ꧀ ron tal, "daun tal")[1][2] adalah helaian daun pelepah pokok tal (Borassus flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskhah penulisan. Rencana ini terutamanya membahas lontar sebagai bahan naskhah manuskrip.
Lontar sebagai bahan naskhah
suntingLontar sebagai bahan naskhah dipakai di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Nusantara banyak ditemukan naskhah lontar dari Sunda (Jawa Barat), Jawa, Bali, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan.
Proses pembuatan
suntingDi pulau Bali, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang. Pertama sekali, daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa dilakukan pada bulan Mac/April atau September/Oktober kerana daun-daun pada masa itu sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula jadi hijau menjadi kekuningan. Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa.
Setelah daun-daun dijemur kembali, tetapi sekarang daun-daun sudah kadangkalanya tersedia dipotong dan diikat, lalu lidinya juga dipotong dan dibuang. Daun-daun kering direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan melestarikan struktur daun supaya tetap bagus. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur kembali di atas tanah. Lalu pada petang hari daun-daun diambil dan tanah di bawah dedaun dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya lembap dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan sebuah lap.
Lalu daun-daun ditumbuk dan ditekan pada sebuah alat yang di Bali disebut sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penyepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun-daun ini ditekan selama kurang lebih enam bulan, namun akan juga diangkat dan dibersihkan setiap dua minggu.
Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga lubang: di hujung kiri, tengah, dan hujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke hujung kiri harus lebih pendek daripada ke hujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda pada saat penulisan nanti.
Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Lontar sekarang siap ditulis dan disebut dengan istilah pepesan dalam bahasa Bali dan sebuah lembar lontar disebut sebagai lempir.
Proses penulisan
suntingSetiap lempir lontar yang akan ditulis biasanya digariskan dahulu supaya tulisan tidak mencondong secara tidak sengajanya; hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah alat yang disebut panyipatan. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Tali-tali ini lalu diberi tinta dan ditarik. Rentangan tali yang ditarik tadi lalu terpental dan mencipratkan tinta ke lempiran lontar sehingga terbentuk garis-garis.
Penulis mengukir aksara pada lempir-lempir lontar ini. Setelah tulisan selesai dibuaat pada lempir, biasanya pada dua-dua sisi, maka lempir dihitamkan dengan menggunakan buah keras (atau "buah kemiri") yang dibakar sampai mengeluarkan minyak. Biji-biji berminyak ini diusapkan pada lempir dan ukiran aksara-aksara tadi jadi terlihat tajam kerana jelaga buah yang melekat, minyak kemiri sekaligus juga menghilangkan tinta-tinta garisan. Lempir-lempir ini dibersihkan dengan lap dan kadangkala dioles dengan minyak sirih supaya bersih dan tidak dimakan serangga.
Tumpukan lempir-lempir ini diikat dengan sebuah tali melalui lubang tengah dan diapit dengan sepasang pengapit (di Bali disebut sebagai cakepan). Namun kadangkala lempir-lempir disimpan dalam sebuah peti kecil yang disebut dengan nama kropak di Bali (di Jawa kropak ertinya naskhah lontar). Lontar yang sudah siap ditulis menggunakan pisau tulis di Bali disebut pengropak atau pengutik, di Jawa Barat dalam bahasa Sunda disebut dengan istilah péso pangot. .
Di Sulawesi
suntingDi Sulawesi Selatan lontar dikenal juga dan disebut sebagai lontara. Bentuk lontara agak berbeza dengan lontar dari Jawa dan Bali. Sebab di Sulawesi Selatan lontar disambung-sambung sampai panjang dan digulung sehingga bentuknya termampat mirip sebuah kaset.
Konon lontara dari Sulawesi ini sudah sangat jarang, di dunia lontara Sulawesi tinggal tiga buah naskhah saja.
Tempat penyimpanan koleksi lontar
suntingBeberapa perpustakaan dan instansi umum lainnya di seluruh dunia menyimpan koleksi lontar dan menyadiakannya bagi para peneliti untuk dibaca. Di bawah ini diberikan senarai.
Indonesia
sunting- Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta
- Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia di Depok
- Museum Sri Baduga, Bandung
- Museum Sonobudoyo Yogyakarta
- Museum Mpu Tantular, Surabaya
- Gedong Kirtya, Singaraja
- Pusat Dokumentasi Budaya Bali, Denpasar
- Museum Negeri NTB, Mataram
- Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Karangasem, Bali
Amerika Syarikat
suntingEropah
sunting- Belanda
- Perpustakaan Universiti Leiden
- Perpustakaan KITLV, Leiden
- United Kingdom
- Jerman
- Bayerische Staatsbibliothek (Perpustakaan Bayern), München
- Staatsbibliothek zu Berlin (milik yayasan Stiftung Preußischer Kulturbesitz), Berlin
- Perpustakaan Universiti Heidelberg, Heidelberg
- Perancis
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ I Wayan Simpen A.B (1985). Kamus Bahasa Bali. Denpasar, Bali: PT Mabhakti. m/s. 140.
- ^ S. Wojowasito (1977). Kamus Kawi-Indonesia. Malang, Jawa Timur: Penerbit CV Pengarang. m/s. 226, 258.
- Sumber utama lain
- (Inggeris) I Ketut Ginarsa, 1975, 'The lontar (palmyra) palm.' di Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 9:90-103
- (Inggeris) H.I.R. Hinzler, 1993, 'Balinese palm-leaf manuscripts' di BKI 149:438-474.
- (Inggeris) Raechelle Rubinstein, 1996, 'Lontar Production' di Illumination. The Writing Traditions of Indonesia (halaman 136-137). Jakarta: The Lontar Foundation.
Wikimedia Commons mempunyai media berkaitan Lontar |