Bissu
Sebahagian kandungan di laman rencana ini menggunakan istilah atau struktur ayat yang terlalu menyebelahi gaya bahasa negara tertentu hasil penggunaan semula kandungan sumber tanpa pengubahsuaian. Anda diminta mengolah semula gaya bahasa rencana ini supaya penggunaan istilah di rencana ini seimbang, selaras serta mudah difahami secara umum dalam kalangan pengguna bahasa Melayu yang lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu. Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia juga disediakan. Anda boleh rujuk: Laman Perbincangannya • Dasar dan Garis Panduan Wikipedia • Manual Menyunting |
Bissu ([bis.su], Bahasa Bugis: ᨅᨗᨔᨛᨔᨘ ) adalah kaum pendeta atau pawang[1] yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang yang dianuti masyarakat Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Golongan Bissu mengambil peranan gender kedua-dua lelaki dan perempuan. Mereka dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa dan bertindak sebagai penghubung antara kedua-dua dunia.[2]
Menurut Sharyn Graham, seorang peneliti di University of Western Australia, Perth, Australia, seorang Bissu tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria, kerana mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka.[2]
Latar belakang
suntingPara Bissu tidak jarang digambarkan dan dianggap sebagai waria, hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman masyarakat awam dalam banyak sejarah dan peran mereka dalam masyarakat. Untuk menjadi Bissu, seseorang harus memadukan semua aspek gender. Dalam banyak contoh ini berarti mereka harus dilahirkan dengan kondisi interseks. Akan tetapi orang noninterseks dapat pula menjadi Bissu.[2]
Peran interseksual seorang Bissu yang tidak biasa dalam masyarakat Bugis tradisional tidak secara eksklusif berhubungan dengan anatomi tubuh mereka, tetapi peran mereka dalam kebudayaan Bugis. Identitas ketiadaan gender mereka (atau kemencakupan tentang segala jenis kelamin) dan karakter berbagai jenis yang tidak dapat dialokasikan secara akurat kepada jenis kelamin apa pun.
Hal ini terbukti dalam cara berpakaian para Bissu. Para Bissu mengenakan sejenis gaun dan pakaian yang tidak dikenakan oleh jenis kelamin lain, namun juga memasukkan elemen dan karakter pakaian "pria" dan "perempuan", yang menjelaskan mengapa golongan Bissu tidak dapat disebut sebagai waria, karena mereka hanya diizinkan untuk memakai pakaian yang sesuai untuk kasta gender mereka.
Peranan dalam budaya Bugis
suntingka|jmpl|225px|Bissu sedang melakukan ritual sembahyang Peran unik yang dilakukan golongan Bissu dalam budaya Bugis sangat erat kaitannya dengan status ketakterbatasan gender mereka. Diperkirakan bahwa, karena kita adalah manusia yang tinggal di balik suatu batasan gender, kita pun tidak ada di tengah-tengah dunia yang tampak dan yang tersembunyi. Pikiran ini diduga mirip dengan ide awal Muslim tentang "Khanith" dan "Mukhannathun" yang menjadi "pengawal batas-batas suci" dan adanya posisi setara untuk para interseksual dan transgender yang ada dalam budaya Muslim tradisional tertentu, tetapi dalam kasus ini tampaknya budaya Bissu bersumber dari budaya daerah Sulawesi yang jauh lebih awal dari budaya Muslim.
Dalam budaya Bugis, para Bissu biasanya dimintai nasihat ketika "persetujuan tertentu" dari kekuasaan dunia batin (spiritual) diperlukan. Hal ini terjadi misalnya ketika orang Bugis Sulawesi berangkat untuk perjalanan naik haji ke Mekah. Dalam situasi ketika dimintai nasihat, seorang Bissu akan melakukan ritual untuk mengizinkan jin yang sangat baik untuk merasuki mereka dan untuk berbicara sebagai utusan dari dunia tak tampak.
Golongan Bissu yang telah terlatih dikenal dengan keunikannya di mana mereka dipercaya tak mempan sama sekali akan senjata tajam.
Relasi dengan budaya Islam lokal di Sulawesi
suntingWalaupun tradisi Bissu dalam memanggil jin adalah tidak sesuai dengan tradisi Islam lokal di Sulawesi, tradisi ini telah dipertahankan oleh komunitas Muslim regional di Sulawesi, dengan syarat bahwa Bissu dan tradisi mereka tidak menunjukkan atau terdiri dari tindakan yang jelas bertentangan dengan syariah Islam. Dalam kasus yang tidak biasa untuk kerasnya tradisi Islam ini, itu berarti bahwa kekuatan seorang Bissu dan jin yang mereka kuasai tidak boleh diukur dengan cara apapun sebagai otonom (berdiri sendiri) dari kekuasaan Allah, karena di dalam sistem Islam, Allah adalah satu-satunya yang harus dihormati.
Kehidupan sehari-hari
suntingDalam kehidupan sosial sehari-hari, golongan Bissu bersama dengan golongan Calabai ("bukan perempuan") dan Calalai ("bukan laki-laki"), diberi kewenangan penuh dan tidak ada larangan untuk memasuki bagian tempat tinggal perempuan maupun laki-laki di desa-desa.
Dalam masyarakat Indonesia modern
suntingDi dalam masyarakat Indonesia saat ini, golongan Bissu semakin dianggap sebagai golongan pelestari tradisi Bugis yang berjasa bagi kekayaan budaya nasional Indonesia, walaupun keberadaan mereka semakin jarang dan mungkin akan punah pada masa depan karena maraknya globalisasi dan tertekannya keberadaan mereka oleh agama-agama konvensional di Indonesia.
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ Ibrahim, Farid M (27 February 2019). "Homophobia and rising Islamic intolerance push Indonesia's intersex bissu priests to the brink". Australian Broadcasting Corporation News. Diarkibkan daripada yang asal pada 27 February 2019. Dicapai pada 27 February 2019.
- ^ a b c Graham, Sharyn (2002). "Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia" (PDF). The Newsletter. No. 29. International Institute for Asian Studies. m/s. 27.
Pautan luar
sunting- (Inggeris) Taboo: Third Sex {en} sur National Geographic